Jumat, 27 Oktober 2017

Ini Empat Poin UU Ormas yang Harus Direvisi Menurut Gerindra




Fraksi Partai Gerindra menjadi salah satu fraksi yang menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas disahkan menjadi Undang-undang. Karenanya, usai disahkan Fraksi Partai Gerindra menuntut revisi UU Ormas dilakukan.

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menilai ada sejumlah poin penting yang harus direvisi dalam Undang-undang hasil pengesahan Perppu Ormas. Pertama yakni pengembalian fungsi yudikatif atau pengadilan yang dalam Perppu Ormas dihapuskan.

"Kita ini negara hukum bukan negara kekuasaan. Kalau negara hukum harus kembali ke hukum, berarti pengadilan, hukum sebagai panglima. Kalau ada yang berselisih ormas dengan pemerintah, nanti pengadilan memutuskan," ujar Riza saat dihubungi wartawan pada Kamis (26/10).

Kedua lanjut Riza, yang perlu direvisi dalan UU Ormas berkaitan dengan tahapan proses mulai dari peringatan hingga pembubaran ormas yang menurutnya sangat singkat yakni tujuh hari. Riza menilai, waktu yang dibutuhkan untuk pembubaran haruslah sesuai rasional.

"Ini kan nggak rasional, masa 7 hari orang disurati. Orang disurati 7 hari jangan-jangan suratnya barucsampe hari ke 5, kan birokrasi sering gitu. Yang lama kan 30 hari, carilah waktu yang rasional. Ada peringatan tertulis, ada mediasi," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra tersebut.

Ia juga menekankan pentingnya mediasi dalam proses pemanggilan kepada ormas-ormas yang bermaslaah tersebut sebelum dibubarkan.

Selain itu, Riza melanjutkan poin ketiga yang perlu direvisi yakni terkait hukuman yang berlebihan. Menurutnya berat hukuman di dalam UU Ormas tidak rasional

"Hukuman 5 hingga 20 tahun itu berlebihan, ini hukuman lebih berat dari zaman kolonial Belanda. Yang rasional kalau menghukum. Ini kan orang warga negara bangsa bukan orang lain. dicari angka yang rasional, 5 hingga 7 tahun atau bagaimana," katanya.

Terlebih kata Riza, hukuman dikenakan terhadap anggota Ormas baik aktif maupun pasif. "Harusnya di mana-mana panglimanya dihukum, pemimpinnya yang dihukum, bukan anak buah. Di tentara aja yang salah komandan, nggak ada yang salah anak buah," katanya.

Kemudian terakhir, Riza meminta revisi pasal yang menganggap Pancasila sebagai dasar melakukan pelanggaran. Sebab menurut Riza, pasal ini bisa sangat multitafsir dan cenderung tafsir tunggal bagi Pemerintah.

"Jangan seperti pasal karet, sekarang yang dianggap melanggar Pancasila itu apa definisinya. Orang korupsi aja jelas-jelas crime ordinary aja miliaran hukuman cuma berapa, dua tahun. Bayangkan di mana rasa keadilannya. Harus diperjelas tafsir itu. Tafsir orang Pancasila itu bukan ada pada satu titik pemerintah. Pemerintah bukan tunggal," jelasnya. (sumber: republika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar