SABAR bukanlah sesuatu sikap yang tercipta secara instan. Namun, berdasarkan kisah kenabian, ternyata sikap ini lahir sebagai hasil serangkaian proses panjang yang terkadang cukup melelahkan. Nabi kita, Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam, sebagaimana para nabi yang lain memiliki pengalaman yang luar biasa untuk melatih diri dan menguji kesabarannya. Dan, akhirnya berhasil untuk menjadi pemenang!
Dikisahkan dalam sebuah buku ceritera remaja, bahwa berhadapan dengan orang-orang (Kafir) Quraisy, bukanlah perkara mudah. Seorang (sekualitas) Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam pun memerlukan latihan dan ujian kesabaran yang luar biasa. Ingat, ketika Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam merespon tawaran orang-orang Quraisy, pada saat mereka menginginkan agar Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam menghentikan aktivitas dakwahnya, melalui perantaraan Abu Thalib, paman beliau. Dengan tegar Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam mengatakan: “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itulah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani."
Inilah sepenggal kisah yang menceriterakan bagaimana orang-orang Quraisy melatih dan menguji kesabaran Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam Sesudah putus asa karena menghalangi Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam dengan cara kekerasan yang ternyata tidak sedikit pun menggentarkan Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam dan para pengikutnya, Abu Jahal pun -- sebagai salah seorang tokoh komunitas Quraisy -- lalu mendatangi Abu Thalib, paman dan pelindung Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam. Abu Jahal meminta kepada Abu Thalib, agar menyampaikan pesan kepada kepada Muhammad bahwa ia dan seluruh penduduk Makkah akan memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Muhammad, bisa berupa gadis-gadis yang paling cantik, harta kekayaan yang melimpah, atau kedudukan terhormat dalam jajaran kepemimpinan bangsa Arab, asal Muhammad berhenti dalam menhampaikan dakwah Islam kepada penduduk Makkah. Dan Abu Thalib segera menyampaikan tawaran Abu Jahal dan suku Quraisy itu kepada Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam sebagaimana terungkap dalam rangkaian kalimat di atas.
Sebagai seorang 'penyabar' beliau tak sedikit pun bergeming. Semangat yang juga terungkap dalam khazanah sastera Melayu: “Sekali layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai”. Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam sudah bertekad, bahwa dakwah merupakan panggilan ilahi, yang tertancap kokoh dalam lubuk hati beliau. Sekali pun nyawa harus terancam karenanya, beliau tak pernah akan surut ke belakang: "dakwah harus tetap berjalan".
Tantangan dakwah beliau tak berhenti pada tawaran-tawaran yang menggiurkan. Bahkan dikisahkan, bahwa dalam suatu peperangan, Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam terlalu lelah dan sampai lengah. Pada saat beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun, seorang tentara kaum musyirikin yang sangat ditakuti lawannya tiba-tiba datang di hadapannya, berdiri dan berkacak pinggang pada saat Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam terkantuk-kantuk. Dan dengan suara lantang, seorang musuh yang bernama "Da’tsur" itu menghardik beliau sambil mengacungkan pedangnya, seraya membentak: “Hai Muhammad! Siapa saat ini yang mampu menyelamatkanmu dari ketajaman pedangku?”
Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam pun sekejap tersentak mendengar hardikan Sang Tentara itu, lalu menatap lurus mata "Da’tsur". Da’tsur pun tergetar melihat pandangan yang tenang dan sejuk dari Nabi s.w. yang mengesankan 'kaget' tetapi terkesat 'takut'. Di saat Da’tsur masih dalam kebingunan memandang sikap tenang Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab dengan sangat tenang pertanyaan Da’tsur yang bernada menghardik itu, dengan rangkaian kalimat yang bermakna: “Karena -- sebagai manusia -- aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali "Allah" yang Maha Melindungi siapa pun yang dikehendaki oleh-Nya?”
Mendengar jawaban Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam itu, Da’tsur pun menggigil, seraya bertanya pada dirinya" Apa yang dimaksud dengan kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu, sehingga ia sebegitu yakin "Allah" pasti akan melindunginya? Kebimbangannya pun kian bertambah menyaksikan sikap Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam yang terkesan tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur terlepas dari genggamannya, dan jatuh di depan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Melihat pedang Da’tsur yang terjatuh di depannya, Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam pun segera mengambilnya, dan dengan spontan mengacungkannya kepada Da’tsur, seraya berkata: “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari pedangku, hai Da'tsur?” Dengan bibir bergetar Da’tsur pun menjawab: “Hanya engkau hai Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau seorang diri.”
Menyaksikan ketakutan Da'tsur, Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam pun tersenyum. Dan dengan sikap bijaknya tanpa kesan sedikit pun ada 'dendam' dan kebencian beliau kepada musuhnya itu, beliau sapa Da'tsur dengan sapaan sebagai seorang sahabat. Beliau sama sekali tidak pernah bekeinginan untuk membalas dendam kepada musuhnya itu, sebagaimana sikap lemah lembutnya kepada semua orang yang pernah dijumpainya. Beliau sama sekali tidak pernah membalas kekerasan yang pernah dilakukan orang oarng lain dengan kekerasan yang sama, bahkan semuanya dibalas dengan kelembutan yang berakhir dengan persahabatan. Di saat yang tepat, beliau pun segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur selaku pemiliknya. Dan, pada akhirnya, berawal dari peristiwa tersebut, Da’tsur pun berserah diri dan menyatakan menjadi Muslim di hadapan Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam
Kisah Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam ketika berinteraksi dengan kedua tokoh 'Kafir' Quraisy (Abu Jahal dan Da'tsur) itu, hingga kini bisa menjadi 'ibrah (pelajaran) yang sangat berharga. Bahwa ternyata "kesabaran" yang diimplementasikan dalam bentuk sikap 'arif (bijak) dan kelembutan, ternyata jauh lebih efektif untuk menjadi "sesutu yang bermanfaat" daripada sikap 'keras' dan 'gegagah' yang seringkali justeru berbuah menjadi 'permusuhan' yang kenal henti.
Abu Jahal dan Da'tsur, kini memang telah tiada. Tetapi, semangat keduanya akan tetap bisa muncul kembali dalam wujud yang berbeda. Dan oleh karenanya, kita – umat Islam – sudah seharusnya berkaca pada kesabaran Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam ketika berhasil melewati tantangan keduanya, untuk – dengan kesabaran yang semakna – menjadi pemenang ketika berhadapan dengan duplikat Abu Jahal dan (juga) Da'tsur yang dalam dunia moderen bisa bersinergi dengan siapa pun dan memiliki taktik serta strategi yang lebih canggih. Sebagaimana pesan para guru penulis, sewaktu penulis masih belajar di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, yang hingga kini masih saya yakini: " مَنْ صَبَرَ ظَفِرَ مَنْ صَبَرَ ظَفِرَ " (siapa pun yang bersabar, pasti [akan] menjadi pemenang).
Kalau Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam telah membuktikan kesabarannya dengan berbagai ujian, kita pun harus menguji ‘diri kita’ dengan berbagai ragam ujian juga, “apakah diri kita telah benar-benar bersabar?”
Ibda’ bi nafsik!
Ngadisuryan - Yogyakarta, Ahad - 26 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar