Oleh: Satria Maulana Kusumahdinata, September 2017
_“Weakness of attitude becomes weakness of character”_
Suatu hari waktu saya lagi celingukan mencari alamat, ada lelaki paruh baya yang mengarahkan motor yang saya tunggangi supaya parkir di hadapannya. “Mau ke klinik? Di sini aja parkirnya”. Saya pun memarkirkan motor di bahu jalan tempat ia tengah berdiri. Setelah saya selesai mengunci setang, lelaki itu mengajukan usul, “Parkirnya 3.000 ya, soalnya motornya besar, berat ngangkatnya”. Karena waktu itu saya tidak memiliki uang pecahan kecil, ia pun sepakat untuk menunda pembayarannya.
Begitu urusan di klinik selesai, saya kembali ke jalan dengan uang kembalian. Disodorkanlah selembar Rp10.000 sebagai uang pecahan terkecil. Begitu uang diterima, lelaki paruh baya tadi langsung mengakhiri kesepakatan dengan ucapan terima kasih. “Enggak usah kembalian aja ya, Kang. Nuhun”. Hmm. Tanpa banyak ba-bi-bu, saya relakan uang tersebut dengan pertimbangan toh saya memang tidak akan datang ke klinik itu lagi untuk kurun waktu yang lama.
Dari klinik, saya melanjutkan perjalanan ke sebuah toko grosir untuk berbelanja. Setelah menerima struk perbelanjaan, saya mengepalkan beberapa lembar uang kembalian untuk pramuniaga yang sigap melayani dan membantu mengikatkan belanjaan ke jok. Begitu sang pramuniaga tuntas berurusan dengan tali rafianya, saya sodorkan kepalan uang tadi ke arah tangannya. Tak disangka, ia langsung menolak pemberian saya seraya tersenyum dan berterima kasih. Jelas bukan penolakan basa-basi karena ia kontan beranjak masuk ke dalam toko.
***
Saya termenung di perjalanan pulang. Apakah juru parkir tadi terbiasa berbuat seperti itu? Permasalahannya sungguh bukan pada jumlah uang yang terlihat tak seberapa, melainkan perilaku yang telah terabadikan sebagai tabiat. Baik berupa kebiasaan untuk berbuat seenaknya dengan uang orang lain atau menolak uang tip untuk menjaga niat, keduanya merupakan bagian dari karakter seseorang.
Apakah juru parkir tadi lebih membutuhkan uang dibanding pramuniaga toko? Jelas keduanya sama-sama membutuhkan uang untuk penghidupan mereka. Namun cara yang masing-masing tempuh dalam membangun kebiasaan telah membedakan karakter keduanya dengan kontras. Siapapun akan merasa tidak nyaman saat harus berurusan dengan karakter serupa bapak juru parkir dan sebaliknya - menaruh rasa hormat saat mengetahui karakter serupa pramuniaga toko grosir tadi.
Maka berhati-hatilah. Mungkin tanpa sadar kita pernah menggunakan kepunyaan orang lain tanpa seizin pemiliknya. Perlu diakui bahwa kita kuat dalam membangun karakter namun masih lemah dalam mengawal proses membangun kebiasaan. Padahal, kelalaian itu bisa menghasilkan dampak berupa kebiasaan buruk yang diam-diam kita amini, bertumbuh perlahan dalam jangka waktu yang panjang kemudian kadung mengkristal sebagai tabiat yang mengemudikan kita.
_“Chains of habit are too light to be felt until they are too heavy to be broken”_
Awalnya, kita yang membangun kebiasaan. Kelak, kebiasaan yang telah susah payah kita bangunlah yang akan membangun (atau menghancurkan) kesan kita di mata orang lain. Sungguh ia bisa sedemikian melalaikan dan mengendalikan. Oleh karenanya, kecermatan diperlukan agar kita bisa mengawal proses membangun kebiasaan dengan seksama. Jangan sampai kita merugi karena sibuk membangun kebaikan di satu sisi tapi mengabaikan keburukan yang kepalang tumbuh terlalu liar di sisi lainnya.
Kalau memang mencegah lebih baik daripada mengobati, maka cermat dalam membangun kebiasaan jauh lebih ringan dibanding merombak karakter yang membutuhkan waktu serta pengorbanan yang lebih besar nantinya.
Laluilah proses sekecil apapun dengan sebaik mungkin. Ucapkan permisi saat melewati kerumunan orang, simpan sampah kering di saku kita sebelum menemukan tempat sampah, isi kembali tangki bensin kendaraan yang dipinjam dari orang lain, patuhilah rambu-rambu lalu lintas dan jangan sisakan makanan dari menu yang telah kita pesan sebelumnya.
Sungguh kita tak pernah tahu, dari kebiasaan yang mana keburukan yang ada dalam diri kita bermula lalu bertumbuh dan terbentuk. Kita pun tak akan tahu, dari tabiat yang mana kita akan dikenal, disimpulkan dan dikenang oleh orang lain. Maka, bentuk seburuk-buruk pengabaian adalah pengabaian terhadap diri sendiri karena saat kita mengabaikan keburukan mengakar di dalam diri, entah pihak mana yang suatu hari nanti akan menyemai kerugiannya dari diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar