Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Malala Yousafsai, dan Pelapor Khusus HAM PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengeritik pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, karena gagal melindungi etnis minoritas Rohingya.
"Setiap kali saya melihat berita tersebut, hati saya hancur karena penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar," kata aktivis Pakistan, Yousafzai, dalam sebuah pernyataan di Twitter, seperti dilaporkan kantor berita Perancis, AFP, Senin (4/8/2017).
"Selama beberapa tahun terakhir ini saya berulang kali mengecam perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu Peraih Nobel, Aung San Suu Kyi, agar melakukan hal serupa," tambahnya.
Kritikan dan kecaman juga datang dari negara-negara Muslim di kawasan ASEAN. Mereka menyuarakan perdamaian dan penghentian kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya dan “diam”nya Suu Kyi atas kekerasan di negara bagian Rakhine yang menyebabkan pengungsian besar.
Sedangkan Lee, sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, menyadari bahwa Suu Kyi berada dalam posisi yang sulit namun tetap mengkritiknya karena tidak mengecam kekerasan.
"Pemimpin de facto perlu bertindak... Itulah yang kita harapkan dari setiap pemerintahan, untuk melindungi setiap orang dalam yurisdiksinya. Dia terperangkap antara batu dan tempat yang keras, namun saya kira saatnya baginya untuk ke luar dari sana sekarang." kata Yanghee Lee (bpp/kpc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar