Oleh : Haedar Nashir
Apa yang terjadi manakala sehari-hari pikiran orang Indonesia dijejali dengan isu-isu keras yang menegangkan urat syaraf? Sebutlah kosakata radikal, ekstremis, teroris, intoleran, dan beragam diksi negatif lain yang menyesakkan rongga dada. Lebih-lebih bila produksi ujaran-ujaran seram itu setiap hari keluar dari lisan ulama dan tokoh agama dengan nada ingar-bingar.
Para pejabat negeri di sejumlah tempat pun tidak kalah fasih mendaur-ulang kalimat-kalimat yang sama menegangkan. Awas anti-Pancasila, anti-kebhinekaan, anti-NKRI, dan segala anti-lainnya yang mengingatkan kita pada pola pikir rezim Orde Baru di masa lalu. Indonesia seperti benar-benar di tubir jurang, nyaris seakan tidak ada kekuatan dari dalam (inner dynamic) yang dapat menjadi penyangga tegaknya Indonesia.
Sementara pada saat yang sama, pada sebagian warga bangsa mulai muncul tindakan-tindakan main hakim sendiri terhadap mereka yang berbeda paham dan golongan, hatta kepada sesama seagama. Menolak berdirinya masjid di lingkungan sesama umat Islam, malah ada yang tega membakar. Mengusir warga seiman hanya karena beda paham dan difatwa sesat. Padahal retorika ke ruang publik menyuarakan agama damai, moderat, dan rahmatan lil-'alamin.
Lantas di mana pengaruh dari ujaran kewaspadaan yang mengharu-biru itu pengaruhnya kepada umat? Nuansa sosial yang serba paradoks itu perlu menjadi bahan renungan yang jernih bagi para penyebar dakwah, elite negeri, dan tokoh wibawa di manapun berada. Semakin kencang beragam alarm dan peringatan tentang hal-hal negatif di negeri ini, keadaan di masyarakat justru tak berbading lurus. Lain di pikiran elite dan para pemimpin, beda pula yang bertumbuh di warga masyarakat.
Pola pikir ekstrem ternyata tak mampu mengeliminasi ekstrimitas. Deradikalisme tak mampu membendung radikalisme. Di sini mungkin cara pikir kita perlu diubah atau diperbarui. Produksilah diksi-diksi kegembiraan dan kisah-kisah sukses anak-anak bangsa di seluruh antero tanah air. Dalam bahasa Melayu, mengubah minda
atau state of mind. Bahwa terlalu berlebihan memproduksi hal-hal negatif, malah kenegatifan itu yang terjadi di masyarakat. Boleh jadi bukan sekadar materi isu yang perlu dikaji ulang, tetapi intensitas dan takarannya yang perlu dievaluasi agar tak berlebihan, yang mengabaikan kita pada nalar sehat yang wajar dan proporsional.
Sikap tengahan
Siapapun tentu bersetuju seratus prosen bahwa radikalisme apapun, lebih-lebih manakala membuahkan tindakan-tindakan kekerasan dan anarki, merupakan hal buruk yang tidak boleh ditoleransi dan berkembang di masyarakat. Kenyataan di negeri mana pun bahwa pola pikir, sikap, dan perilaku radikal dalam makna ekstrem dan melahirkan tindakan-tindakan berlebihan sering terjadi. Tidak ada bangsa dan masyarakat yang benar-benar bebas dari radikalisme dan ekstrimisme dalam beragam bentuk, bukan melulu yang bernada keagamaan. Semua harus dicegah, ditindak, dan dihilangkan.
Namun menghadapi hal-hal yang serba ekstrem itu tidaklah mudah dianalisis dan disikapi dengan cara instan dan gampangan. Tidak pula dengan melakukan generalisasi yang membuat seluruh area dan persoalan seolah diliputi oleh ekstrimisme dan radikalisme. Seolah tiada ruang longgar dari kedua persoalan tersebut, meskipun memang kenyataannya ada dan faktual. Bagaimana pun perlu blocking-area agar tetap terbuka luas rongga-rongga kehidupan kebangsaan di negeri ini yang moderat, normal, dan memancarkan kebajikan kolektif.
Demikian pula dengan persoalan bangsa dan negara. Bangsa dan negara di mana pun tidak bebas dari masalah. Persoalan keagamaan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, sosial, ekonomi, lebih-lebih politik. Kadar, jenis, dan intensitas persoalan satu sama lain tentu berbeda. Setiap pemerintahan berganti selalu ada persoalan, baik persoalan lama maupun baru. Bangsa yang besar bukan tanpa persoalan, tetapi mampu menyikapi dan menyelesaikan persoalan-persoalannya secara tepat dan sesuai kadarnya. Apakah perlu semua persoalan digeneralisasi kadarnya?
Menjadi penting menempatkan setiap persoalan pada tempatnya dan tidak terjadi generalisasi dan dramatisasi sehingga keadaan bangsa dan negeri ini seakan gelap gulita dan kehilangan jalan terang. Tidak pula melakukan simplifikasi sehingga masalah besar menjadi kecil, sebaliknya yang kecil dibesar-besarkan. Apalagi jika masalah dikomoditikan atau diperjualbelikan, sehingga terjadi pengawetan dan bahkan kapitalisasi masalah demi meraih keuntungan uang, materi, dan kepentingan-kepentingan sesaat.
Agama mengajarkan
khair al-'umur auwsathuha, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan. Masalah ditempatkan pada proporsinya, itulah sikap adil dalam memposisikan masalah. Mengurangi atau melebih-lebihkan masalah sama ekstremnya. Menyikapi hal radikal dan ekstrem dengan cara pandang, sikap, dan tindakan ekstrem sama dan sebangun dengan ekstrimitas itu sendiri. Jika ingin moderat dalam menghadapi masalah maka tunjukkan kemoderatan yang semestinya, itulah yang disebut moderasi yang diajarkan agama.
Kadang atau sering terjadi paradoks. Kritik dianggap menghujat, karena budaya menjilat meluas. Orang dengan mudah sering mengeritik pihak lain secara lantang, namun sekali balik dikiritik pendukungnya marah dan melempar ancaman. Tidak suka di kanan tetapi mengambil posisi di kiri, begitu sebaliknya. Ingin di tengah tetapi kekanan-kananan atau kekiri-kirian. Di tengah pun menjadi sering ekstrem, sehingga menjelma dalam wajah ekstrim tengah. Kanan, kiri, dan tengah adalah garis posisi yang tidak bisa absolut, ukurannya adalah kontekstualitas, objektivitas, rasionalitas, dan adil.
Nalar sehat dan jernih menjadi sulit memperoleh ruang longgar karena banyak pihak terbiasa dengan pola pikir tunggal, linier, hitam putih, dan ekstrem. Suka dan tidak suka mekar, sehingga sikap adil dalam melihat dan memposisikan masalah pun menjadi hilang. Padahal Allah mengajarkan insan beriman untuk berbuat adil hatta terhadap mereka yang kita tidak suka (QS Al-Mâidah: 8). Sikap adil itu memiliki irisan dengan perilaku tengahan dan kebajikan (QS An-Nisâ: 135; An-Nahl: 90). Sedangkan fondasi adil itu kebenaran, demikian menurut Al-Quran. Anda dapat berbuat adil dan tengahan jika anda memiliki patokan kebenaran yang autentik, bukan yang semu dan dibuat-buat!
Banyak kepentingan
Kehidupan berbangsa di negeri ini terlalu sarat beban. Satu diantaranya banyaknya lalulintas kepentingan yang sedemikian bebas, sebebas proses politik dan ekonomi yang menjadikan Indonesia serba liberal. Politik transaksi menjadi pemandangan umum, sehingga dalam bahasa sosilologi terjadilah komodifikasi yang massif, semua hal ada harganya untuk diperjualbelikan. Agama pun, termasuk fatwa, terbuka kemungkinan dapat menjadi lahan komoditi paling menarik.
Akibatnya tidak sedikit masalah menjadi awet dan malah cenderung diproduksi dan direproduksi karena makin lama kian mahal harganya untuk dikomodifikasikan di pasaran. Radikalisme, ekstremisme, dan apapun yang menjadi masalah menjadi komoditi yang laris di ruang publik, sehingga kian lama bukan makin kecil dan hilang tetapi menjadi mekar. Ada yang genuin, tetapi tidak sedikit yang menjadi proyek dan diproyekkan. Setiap jengkal ada proposalnya, sehingga terjadi perluasan dan pengembangbiakkan masalah.
Dalam keadaan yang serbatransaksional dan komodifikasi itu maka ruang kewajaran pun menjadi makin menyempit. Normalitas dikalahkan abnormalitas. Masalah tidak dapat dianalisis secara jernih karena analisis dan solusinya sudah dipatok harus tunggal sesuai dengan para pemangku kepentingan dan yang saling berkepentingan. Mereka yang tidak berkepentingan meskipun memiliki pikiran dan tawaran yang baik tidak akan terakomodasi, bahkan dapat dianggap sebagai pengganggu karena berada di luar pasar dan program komoditas. Agar sah melakukan tindakan sepihak terhadap orang lain diproduksi istilah-istilah yang stigmatik dan stereotipe keagamaan tertentu, sehingga pihak yang tak bersalah pun bisa menjadi korban.
Tarikan kepentingan diri dan kelompok semakin tingggi dalam banyak urusan kebangsaan sering menjadi sandera bagi bangsa ini untuk keluar dari masalah, malah tidak jarang terjebak pada lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Pemberantasan korupsi sering kontroversi, sehingga para koruptor makin leluasa beroperasi dan berkamuflase diri. Proyek reklamasi makin menjadi polemik, karena di dalamnya sarat kepentingan. Para mafia apapun makin leluasa berdiaspora di negeri ini, karena semuanya dapat ditransaksikan dan diperjualbelikan. Adakah rakyat memperoleh keuntungan di balik semua itu? Sama sekali tidak!
Karenanya diperlukan pola pikir baru yang bersih dari lalulintas kepentingan dan beban komodifikasi, sehingga dalam menghadapi dan mencari solusi atas masalah-masalah di tubuh bangsa ini dapat dikonstruksi secara lebih tepat, benar, dan jernih sehingga terbuka jalan keluar. Jangan sampai gali lobang tutup lobang serta keluar dari satu masalah masuk ke masalah lain yang sama peliknya atau malah berujung di jalan buntu. Semua pihak mesti berjiwa besar dan terbuka dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Belajarlah dari jalan rumit persoalan Perppu dan UU Ormas, yang akhirnya menjadi masalalah krusial yang membelah bangsa karena sejak awal niat dan pola pikirnya serba apriori.
Jangan diikuti dan dimanjakan pola pikir asal loyal dan asal dukung tanpa tanggungjawab yang besar untuk masa depan bangsa. Apalagi loyalitas kebangsaan yang naif itu disertai tukar-menukar kepentingan sesaat. Sama pentingnya siapapun warga dan kelompok bangsa jangan asal tidak senang secara apriori sehingga di negeri ini seolah tak ada noktah-noktah kebajikan. Saling berdiri dalam oposisi biner yang terus berhadapan secara ekstrem dalam berbangsa dan menyikap masalah-masalah kebangsaan sangatlah merugikan Indonesia. Ujaran-ujaran dan sikap-tindak ugal-ugalan hatta yang mengatasnamakan pandangan keagamaaan apapun saatnya dihentikan agar tak memercikkan api permusuhan, yang sekali ditebarkan sangat sulit untuk dipadamkan.
Jika Indonesia saat ini dan ke depan ingin bangkit menjadi bangsa dan negara besar maka elite dan rakyatnya niscaya berjiwa besar, berpikir cerdas, dan melakukan langkah-langkah yang konstruktif berkemajuan. Bukan menjadi sosok-sosok yang kerdil jiwa, pikiran, dan tindakan hingga menjadikan negeri dan bangsa ini terbonsai dalam kerangkeng yang penuh onak dan duri.
Ubah minda dari pola pikir serba-negatif dan sarat kepentingan dengan mengkonsumsi dan memproduksi hal-hal yang positif-konstruktif disertai visi optimisme dan jiwa kenegarawanan yang melampaui. Jadilah elite dan warga bangsa yang akil-balig, seraya mengakhiri masa kekanak-kanakkan agar Indonesia makin dewasa. Ubahlah minda dari kekerdilan dan kenaifan dengan aura ihsan, kearifan, kecerdasan, dan segala jejak berkemajuan! (sumber: Republika)