Rabu, 06 September 2017

Pajak Penulis Tinggi, Tere Liye Putus Hubungan dengan Penerbit




Tere Liye, penulis buku, memutus kerja sama dengan dua penerbit, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit per 31 Juli, lantaran pungutan pajak buku yang tinggi.

"Keputusan ini kami ambil mengingat tidak adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis dan tidak pedulinya pemerintahan sekarang menanggapi kasus ini," ujar Tere dalam laman Facebook pribadinya kemarin, seperti dikutip Rabu (6/9).

Ia mencontohkan, bila penghasilan seorang penulis yang disebut sebagai royalti mencapai Rp1 miliar, setidaknya sekitar Rp245 juta atau 24,5 persennya perlu disetor sebagai pungutan pajak.


Tere Liye Keluhkan Pajak 'Selangit' Bagi PenulisAkibatnya, Tere Liye memutus kerja sama dengan dua penerbit, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika per 31 Juli lalu. (Dok. Tere Liye via facebook.com Tere Liye).
Angka tersebut diperoleh dari perhitungan bahwa Rp50 juta pertama dikenakan tarif pajak lima persen. Lalu, sekitar Rp50-250 juta berikutnya dikenakan pajak 15 persen. 
Kemudian, Rp250-500 juta dikenakan tarif 25 persen dan Rp500 juta sampai Rp1 miliar berikutnya dipajaki 30 persen. Sehingga, total pajak mencapai Rp245 juta.

Pungutan pajak ini disebutnya jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lain, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), di mana, dalam simulasinya, bila PNS berpenghasilan Rp1 miliar, pajak yang dibayar hanya Rp95 juta. Sedangkan pelaku UMKM tarif pajaknya hanya satu persen, sekitar Rp10 juta.

"Penulis buku membayar pajak 24 kali dibandingkan pengusaha UMKM dan dua kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas," terang Tere.

Selain tarif pajak tinggi, ia juga mengeluhkan ketidakadilan pajak yang diterapkan pemerintah. Sebab, pajak penulis langsung ditarik oleh penerbit sehingga tidak bisa ditutupi.

Sedangkan, banyak pekerjaan bebas lain, seperti artis, pengacara, yang masih kerap menyembunyikan penghasilan dan tak menyetorkan pajaknya.

"Artis, pengusaha, lawyer (pengacara), wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa," imbuh Tere. 

Untuk itu, Tere memutuskan hubungan kerja sama dengan dua penerbit besar itu. Sebab, sebelumnya, ia pernah mengadu pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), namun tak ada tanggapan.

"Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya," keluh Tere.

Sehingga, mulai 1 Januari 2018, tak akan ada lagi buku Tere di toko buku. Sedangkan, 28 judul buku karyanya hanya akan dijual sampai 31 Desember mendatang secara alamiah.

"Insyaallah, buku-buku baru atau tulisan-tulisan terbaru Tere Liye akan kami posting lewat media sosial page ini dan atau akses lainnya yang memungkinkan pembaca bisa menikmatinya tanpa harus berurusan dengan ketidakadilan pajak," pungkasnya. (bpp/cnni
)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar