Rabu, 19 Juli 2017

Ini Dampak Redenominasi Rupiah di Masyarakat Jika Jadi Diterapkan



Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Hal ini berarti prosedur penghilangan nol di belakang mata uang yang sudah ada. Misalnya Rp10 ribu menjadi Rp 10.

Dampak redenominasi dalam kehidupan sehari-hari tentu akan besar dan membutuhkan proses adaptasi hingga sosialisasi yang tidak singkat. Cnnindonesia.com menghubungi pakar keuangan, Aidil Akbar via telepon, Rabu (19/07) untuk mengetahui dampaknya.

“Dampak yang paling cepat dirasakan adalah harga-harga menjadi naik karena kecenderungan pembulatan nominal,” ujar Aidil. Ia memaparkan sebuah skenario, saat harga jual memiliki angka yang ganjil dan penjual merasa repot untuk menyediakan kembalian, maka harga dibulatkan dengan cara menaikkan harganya.

“Misalnya begini, harga ayam Rp39 ribu satu ekor. Tapi karena redenominasi, maka menjadi Rp39. Dari sejarah redenominasi di berbagai negara, penjual biasanya merasa repot menyediakan kembalian dan langsung membulatkan menjadi genap, yakni Rp 40,” jelasnya.

Pembulatan ini menurut Aidil adalah inflasi dan biasanya akan terjadi pada harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Itulah sebabnya sosialisasi sangat krusial dilakukan.
Akbar mengatakan dua hingga tiga tahun pertama, redenominasi dilakukan dan dikeluarkan dalam masyarakat. Di tahun berikutnya, harus ada dua mata uang yang beredar, yakni mata uang yang lama dengan jumlah nol yang banyak dengan yang dikurangi.

Setelah dua tahap itu berlangsung selama kurang lebih lima tahun, maka masuk kepada tahap konsolidasi, yakni mata uang yang jumlah nol masih banyak ditarik dari peredaran. Diprediksi proses ini memakan waktu sekitar delapan tahun jika dilakukan dengan seksama.
Redenominasi rupiah ini agar lancar digunakan oleh masyarakat harus dilakukan sosialisasi secara merata baik yang tinggal di kota besar maupun daerah. 

Hal ini untuk mempermudah aktivitas jual beli masyarakat, terutama yang tinggal di daerah-daerah sebanyak 49% yang masih senang menggunakan uang tunai.

Beda halnya di perkotaan mungkin transaksi jual beli bisa digunakan secara elektronik menggunakan kartu debit atau kredit, namun masih banyak orang yang menggunakan uang tunai. (sumber: CNN Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar