Jumat, 14 Juli 2017

Yusril Bantah Todung Mulya Lubis Tidak Paham Fungi Pengawasan DPR




Yusril Ihza Mahendra membantah balik apa yang dikatakan T Mulya Lubis bahwa dirinya hanya mengerti hukum tata negara tradisional dan tidak paham hukum tatanegara modern terkait kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Todung, karena pemahamannya tradisional, Yusril hanya memahami pembagian kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga dia menyebutkan bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif sehingga bisa dilakukan angket oleh DPR.
Yusril mengatakan dia sangat faham tentang auxiliary agencies yang disebutkan Todung, sebagai lembaga penunjang yang di tempatkan dalam posisi indepdenden. Namun, keberadaan lembaga seperti itu, menurut Yusril tidak terlepas di manakah ranah atau rumpun dari auxiliary agencies itu berada.
KPK itu dalam hal melakukan tugasnya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi adalah sama dengan Kejaksaan, dan karenanya berada dalam ranah atau rumpun eksekutif. Keduanya dapat ditarik keberadaannya kepada Pasal 24 ayat 1 UUD 45 sebagai badan-badan lain yang tugasnya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Hanya bedanya secara struktural, kejaksaan berada di bawah Presiden sedangkan KPK tidak berada di bawah lembaga manapun.
Lembaga2 lain yang bahkan disebut dalam Pasal 23 UUD 45 seperti Bank Indonesia adalah lembaga yg independensinya ditegaskan oleh konstitusi. Dewan Gubernur BI, sebagaimana komisioner KPK dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Namun dalam angket terhadap skandal Bank Century, angket DPR langsung atau tidak langsung ditujukan kepada Bank Indonesia. Kalau BI sebagai lembaga negara independen yang bukan sekedar auxiliary agency seperti dikatakan Todung, bisa diangket DPR, maka atas dasar apa Todung mengatakan KPK tidak bisa diangket?
Dalam konteks DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga2 negara independen, KPK selama ini menjadi mitra kerja Komisi III DPR. KPK selalu hadir diundang dalam Raker Komisi III untuk dilakukan pengawasan. Keberadaan Raker sebagai pengawasan hanya diatur dalam Peraturan Tatib DPR, tapi KPK patuh.
Pertanyaannya mengapa ketika DPR ingin melakukan angket, yang merupakan instrumen pengawasan yang diatur dalam UUD 45, Todung menolaknya? Todung seperti kehilangan kejernihan berpikir karena keinginannya yang menggebu2 untuk menolak angket DPT terhadap KPK.
Jakarta 13 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar