Oleh: Imam Shamsi Ali*
Sejak tgl 1 hingga 17 Juli saya berada di bumi pertiwi tercinta, Indonesia. Sejujurnya kepulangan kali ini niat awalnya adalah bergabung dengan keluarga yang sedang berlibur di kampung. Apa daya, tuntutan dan tanggung jawab dakwah tidak bisa ditolak. Saya pun hanya berkesempatan kembali ke kampung bertemu ayah setengah hari. Selebihnya berkeliling ke berbagai kota antara lain, Pinrang, Enrekang, Surabaya, Semarang, Pati, Bandung dan tentunya Jakarta dan sekitarnya.
Awalnya memang untuk menjadi salah seorang nara sumber pada konferensi Diaspora Indonesia yang dilaksanakan pada tgl 1-3 Juli di Jakarta. Konferensi yang dahsyat karena dihadiri oleh tidak kurang dari sembilan ribu peserta dari dalam dan luar negeri. Para narasumber yang diundang juga adalah nama-nama beken warga Indonesia, baik yang masih tinggal di luar negeri maupun yang telah kembali ke tanah air tapi pernah tinggal di luar negeri. Di antara nama-nama papan atas yang menjadi nara sumber itu adalah Dr. Anies Baswedan, gubernur Jakarta terpilih dan Ridwan Kamil, Walikota Bandung.
Akan tetapi dari sekian nama masyhur itu yang menjadi magnet bagi keberhasilannya adalah kehadiran mantan presiden Amerika Serikat, seorang negarawan yanh dicintai dan dikagumi oleh berjuta-juta manusia, tidak saja di Amerika tapi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Beliau Barack Obama hadir sebagai "keynote speaker" pada acara pembukaan konferensi yang lebih dikenal dengan CID yang spektakular itu.
Keberhasilan konferensi yang fenomenal ini tentunya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kapabilitas dan keliahaian Ketua (Chairman) dari organisasi yang tersebar di seluruh dunia ini. Beliau adalah Dr. Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
Barack Obama effect
Walaupun ada upaya-upaya penggagalan dari sebagian mereka yang merasa berjasa dalam membesarkan gerakan diaspora Indonesia ini, diakui atau tidak, inilah konferensi Diaspora yang terbesar dan tersukses dalam 5 tahun terakhir. Bahkan keberhasilan konferensi kali ini boleh jadi tidak akan terulang kedua kalinya.
Selain kelihaian dan kapabilitas tinggi sosok leadership (kepemimpinan) di balik kesukseaan ini, juga karena Obama effect. Kehadiran Obama di konferensi ini menjad magnet dahsyat minat peserta, sehingga jauh-jauh hari sebelum acara dimulai pendaftaran telah ditutup. Ratusan bahkan ribuan peminat terpaksa gigit jari karena membludaknya pendaftar untuk hadir di acara itu. Bahkan dari 9000 peserta yang berhasil diakomodir hanya 4000 di antaranya yang bisa menghadiri acara pembukaan dan keynote speech Barack Obama.
Dalam pidato utama pembukaan Diaspora Barack Obama intinya menyampaikan empat poin utama. Keempat hal ini menjadi penentu warna dunia kita saat ini, baik buruknya, aman dan kacaunya. Keempat poin yang disampaikan Obama saya ringkaskan sebagai berikut:
Pertama, bahwa dalam dunia global kini tuntutan terpenting manusia adalah "togetherness" (kebersamaan). Kebersamaan ini hanya akan dapat terbangun ketika manusia mampu membangun kesadaran "diversity" (keragaman). Dan karenanya keragaman bukan sesuatu yang mengancam. Kesadaran justeru menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.
Ancaman terbesar dari kebersamaan atau kesatuan di tengah keragaman (unity in diversity) ini adalah tumbuhnya tendensi intoleran dunia. Manusia seolah teracam dan ketakutan dengan kenyataan bahwa dunia tidak lagi monolitik, tapi terjadi eksposur keragaman yang sangat luar biasa. Dan karenanya manusia yang berpandangan sempit, terkungkung oleh zona nyamannya sendiri, akan mengalami kekhawatiran bahkan merasa terancam dengan karagaman ini. Akibatnya mereka akan membenci keragaman itu dan bersikap intoleran kepada mereka yang dianggap lain dari dirinya.
Barack Obama sesungguhnya memuji Indonesia sebagai negara toleran. Sebagai negara Muslim terbesar, dengan segala dinamika yang terjadi di negara ini, Indonesia tetap menjadi model toleransi dunia. Contoh toleransi Indonesia itu terbukti dengan tetap terjaganya kelestarian peninggalan sejarah agama-agama dan budaya lain. Borobudur, Prambanan, bahkan Wayang kulit masih menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan budaya dan agama di Indonesia.
Kedua, Barack Obama juga mengakui bahwa demokrasi bukankah sistim yang sempurna. Tapi demokrasi adalah sistim yang terbaik saat ini dalam membangun kehidupan publik manusia. Akan tetapi di sisi lain diakui bahwa demokrasi tanpa kemakmuran ibarat rumah besar tanpa penghuni. Oleh karenanya demokrasi dunia harus terus menerus mengupayakan "kemakmuran dunia". Jika tidak maka demokrasi akan dilihat sebagai sistim yang sedang lumpuh.
Salah satu hal yang Barack Obama akui adalah bahwa kendati dirinya adalah penganut sistim kapitalisme, tapi di sisi lain mengakui bahwa kapitalisme dunia semakin memperbesar jurang pemisah antara mereka yang "the haves" dan "the have nots" (antara yang kaya dan miskin). Dan nenurutnya lagi, jika tidak segera diselesaikan akan melahirkan berbagai gesekan sosial.
Dan karenanya kapitalisme dunia akan dipersepsikan sebagai sistin yang tidak adil. Hendaknya diupayakan apa yang disebutnya sebagai "fair share" demi terminimalisirnya tendensi "kekerasan" atau terorisme dalam dunia ini.
Ketiga, Barack Obama juga menyinggung soal penanganan terorisme yang cenderung selalu melalui pendekatan militer. Padahal yang sedang terjadi adalah "battle of ideas". Terorisme adalah "cara pandang" orang dalam melihat permasalahan melalui pendekatan kekerasan. Intinya ada pada cara pandang atau pemikiran.
Dan karenanya tanpa mengurangi urgensi pendekatan militer jika diperlukan, dalam upaya menyelesaikan masalah terorisme dunia diperlukan pendekatan sosial budaya dan ekonomi. Upaya pembangunan (development) menjadi krusial menjadi bagian terpenting dalam upaya menyelesaikan isu terorisme dunia.
Keempat, Barack Obama juga banyak menyinggung kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan media. Kecepatan informasi, khususnya media sosial, menjadi hal penting bagi kaum muda untuk sadar dalam merespon secara positif. Jika tidak maka generasi muda akan terbawa oleh arus perkembangan, yang sejatinya mereka akan menjadi korban dari perkembangan ini.
Oleh karenanya Barack Obama menghimbau kepada remaja dan pemuda dunia untuk menguasai kemajuan teknologi dan informasi dan memaksimalkannya bagi pengembangan diri dan masyarakat. Setiap fenomena kemajuan itu menuntut kaum muda untuk mengambil bagian, bahkan menjadi pengendali dari kemajuan itu sendiri.
Mudik kampung
Setelah dua hari mengikuti konferensi Diaspora yang fenomenal itu saya melanjutkan perjalanan pulang kampung. Rencananya akan mengunjungi keluarga atau tepatnya ayah yang sudah uzur di kampung, Kajang Bulukumba. Saya membayangkan sajian kampung, dari kelapa muda, ikan-ikan hasil empang yang segar, hingga kepada kue-kue khas kampung.
Apa daya ternyata tuntutan dakwah jauh lebih dahsyat dari yang diperkirakan. Jadwal yang ada bersama keluarga hanya setengah hari. Selebihnya saya telah dijadwalkan keliling daerah bersama Dr. Majdah Nu'man, rektor Universitas Islam Makassar, dan sekaligus sebagai Ketua Pembina Forum Kajian Cinta Al-Qur'an (FKCA). Beliau dan timnya adalah mujahidah Al-Quran yang tiada lelah dan henti-hentinya membawa cahaya Al-Quran menerobos seluruh pelosok-pelosok dan perkampungan daerah kelahiranku Sul-Sel. (Bersambung).
Di ketinggian 37000 kaki, 18 Juli 2017
* Presiden Nusantara Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar