Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy
Alumni Madin Awwaliyah dan Wustho Salafiyah As-Syafiiyah Jagalempeni Brebes dan hingga saat ini menjadi Pengawas dan Pembina Madin, TPQ, dan TPA Nur Hidayah Bekasi
Alumni Madin Awwaliyah dan Wustho Salafiyah As-Syafiiyah Jagalempeni Brebes dan hingga saat ini menjadi Pengawas dan Pembina Madin, TPQ, dan TPA Nur Hidayah Bekasi
Kebijakan lima hari sekolah yang ditawarkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, mendapat reaksi dan penolakan, khususnya dari kawan-kawan Nahdlatul Ulama (NU). Tak kurang Lembaga Maarif, lembaga yang menaungi pendidikan milik atau berafiliasi ke NU dan PBNU membuat pernyataan sikap yang berisikan tidak saja penolakan kebijakan lima hari sekolah, tapi juga menuntut Mendikbud mundur dari jabatannya. Bahkan untuk kepentingan yang terakhir, sampai-sampai PBNU mengumpulkan beberapa ormas Islam guna memperkuat sikap politiknya.
Ketika sebatas mengkritisi atau bahkan menolak kebijakan, mungkin masih bisa dipahami, tapi ketika sudah diiringi oleh tuntutan yang meminta Mendikbud mundur, rasanya sudah terlalu jauh, berlebihan, dan menjadi sangat politis. Rasanya baru kali ini, PBNU di era kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bersikap tegas meminta seorang menteri mundur. Dan yang diminta mundur –kebetulan atau tidak– adalah menteri yang berlatar belakang dan menjadi anggota PP Muhammadiyah, sehingga wajar kalau ada yang berpandangan bahwa setelah 10 tahun terakhir Mendikbud dijabat “kader” NU, ada “ketakrelaan” ketika jabatan Mendikbud jatuh ke tangan kader Muhammadiyah. Jangankan terhadap menteri yang berasal dari dan berlatarbelakang NU, terhadap menteri lain pun yang tak ada hubungan emosional dengan NU yang tak becus bekerja, PBNU tak pernah memintanya untuk mengundurkan diri.
Posisi Mendikbud baru sebatas melontarkan tawaran kebijakan yang notabene juga adalah kebijakan Presiden dan tidak sedang dalam posisi sebagai tersangka atau diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi sebagaimana pernah dan tengah menimpa pejabat-pejabat negeri ini lainnya, termasuk pejabat-pejabat berlatar belakang NU.
Penolakan Maarif dan PBNU atas kebijakan lima hari sekolah atau sebelumnya santer disebut FDS, karena kebijakan ini dinilai akan mematikan Madrasah Diniyah (Madin). Alasan ini rasanya sangat berlebihan dan mengada-ada. Pertama, dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berkunjung ke PBNU yang juga diterima oleh jajaran pengurus PBNU dan juga saat menerima pengurus PP. Maarif serta saat berkunjung ke banyak pesantren yang kebanyakan tentu berafiliasi ke NU, seperti Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Pesantren Tebuireng, Pesantren Sidogiri, dan banyak lagi pesantren lainnya, Mendikbud sudah menjelaskan kebijakan lima hari sekolah atau FDS atau apapun namanya, termasuk menjelaskan bahwa kebijakan Mendikbud ini tak ada niatan secuil pun untuk mematikan Madin, yang ada justru sebaliknya akan memperkuat posisi Madin. Tak lupa Mendikbud juga menjelaskan bahwa kebijakannya tak lebih hanya action dari kebijakan atau visi dan misi Presiden dan sudah dibahas dalam Rapat Kabinet Terbatas.
Kedua, kebijakan-kebijakan yang awalnya diduga akan mematikan Madin bukan hanya kali ini saja, tapi sudah muncul beberapa kali dan terbukti tidak mematikan Madin. Masih ingat ketika Pemerintah Orde Baru melalui Departemen Agama membuat kebijakan berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah? Saat itu juga mendapat reaksi luar biasa karena diyakini akan mematikan Madin. Argumen yang saat itu mengemuka, dengan hadirnya MI dan MTs yang di dalamnya juga sarat dengan mata pelajaran agama yang juga diajarkan di Madin, maka akan menyebabkan siswa MI dan MTs tak mau bersekolah lagi di Madin pada sore harinya. Namun apakah dengan kebijakan MI dan MTs lalu Madin gulung tikar? Tidak juga bukan? Bahwa ada penurunan kuantitas iya, tapi penyebabkan bukan karena kebijakan Depdikbud, tapi karena kebijakan Depag.
Ketika tumbuh subur dan marak di mana-mana Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT, saya lebih suka menyebut sebagai bentuk metamorphosis dari MI dan plus penambahan jam belajar menjadi sampai jam 15.00), juga diributkan. Alasannya sama, karena diyakini akan mematikan Madin. Apakah setelah SDIT tumbuh menjamur, terutama di wilayah perkotaan, lalu Madin juga mati? Tidak juga bukan? Semua bergantung pada orang tua dan keinginan anak untuk bersekolah.
Ketiga, reaksi keras dan berlebihan Maarif dan PBNU juga terkesan kurang memahami realitas Madin dan cenderung generalisasi, terlebih terkait jam pembelajaran Madin. Reaksi Maarif dan PBNU kan seolah-olah jam pembelajaran Madin di manapun berlangsung sama antara pukul 14.00-17.00. Faktanya tidak demikian, sangat variatif. Ada yang jam pembelajarannya antara pukul 14.00-17.00 (seperti Madin di kampung yang saya pernah mengenyam tingkat Awwaliyah dan Wustho). Ada juga yang pukul 15.30-17.30 (seperti Madin yang hingga saat ini saya ikut terlibat menjadi Pengawas dan Pembina). Ada yang pukul 16.00-19.00. Ada yang pukul 18.30-21.00 (seperti Madin yang dikelola oleh sepupu saya di Brebes). Bahkan ada yang berlangsung pukul 08.00-10.00 (seperti Madin yang hingga saat ini saya ikut terlibat menjadi Pengawas dan Pembina) untuk menampung siswa-siswa SD yang sekolahnya berlangsung siang sampai sore hari antara pukul 12.30-17.30. Jadi sangat variatif waktu pembelajaran di Madin. Karena realitas ini, maka reaksi keras Maarif dan PBNU menjadi sangat berlebihan.
Keempat, menjadi berlebihan lagi dan bahkan terkesan paradox kalau reaksi berlebihan Maarif dan PBNU dikaitkan bahwa kebijakan lima hari sekolah akan menjauhkan anak didik dari pendidikan agama. Kalaulah benar bahwa kebijakan lima hari sekolah akan menjauhkan anak didik dari pendidikan agama, memangnya hanya kebijakan lima hari sekolah yang menjauhkan anak didik dari pendidikan agama? Cukup banyak kebijakan negara yang telah melemahkan sendi-sendi kehidupan keagamaan di lingkup anak didik. Coba tengok tayangan-tayangan “sampah” yang jorok dan menjijikan di televisi yang mengumbar pornografi dan tayang justru di saat jam-jam belajar siswa, termasuk juga tayangan-tayangan live televisi yang berlangsung ketika jam sekolah berlangsung, apakah selama ini Maarif dan PBNU, termasuk ormas-ormas Islam yang kemarin berkumpul di PBNU sudah pernah mereaksi secara keras, sekeras bagaimana Maarif dan PBNU menyikapi kebijakan lima hari sekolah?
Kelima, setahu penjelasan yang pernah saya dengar langsung dari Mendikbud, tak ada niat secuil pun dari kebijakan lima hari sekolah dengan sengaja untuk mematikan Madin. Saat kami bicara berdua dengan Mendikbud, pernah Mendikbud bicara yang menurut saya sangat keras dan kasar: “Sangat keji dan biadab mereka yang menuduh saya akan mematikan Madin. Lah wong saya ini produk Madin, kok mau mematikan Madin, aneh.” Mungkin andaikan saat itu videonya Kaesang sudah beredar, jangan-jangan Mendikbud akan bilang: “Ndeso, mereka yang menuduh saya akan mematikan Madin.” Justru sebaliknya, kebijakan lima hari sekolah akan memperkuat dan mensinergikan posisi Madin dengan SD/MI. Bila sebelum ada kebijakan lima hari sekolah, murid SD/MI tak ada keharusan untuk sekolah di Madin di sore harinya, suka-suka orang tua dan muridnya, ini realitas yang sesungguhnya di lapangan terkait dengan posisi dan kondisi Madin. Pengelolaannya pun terkadang asal dan acak-acakan. Namun dengan kebijakan 8 jam sekolah, maka –bisa saja– dengan kebijakan turunan di tingkat kabupaten disinerjikan antara SD/MI dengan Madin, di mana 5 jam sekolah berlangsung di SD/MI dan 3 jam sekolah berlangsung di Madin. Terkait fasilitas dan guru juga bisa disinergikan dengan baik.
Keenam, yang tidak banyak dipahami publik, bahwa terkait jam mengajar guru di SD/MI, termasuk SMP/MTs, prakteknya banyak manipulasi jam mengajar. Kebijakan delapan jam sekolah itu juga dimaksudkan untuk memutus manipulasi jam mengajar para guru. Para guru tidak harus dituntut untuk memenuhi jam mengajar, yang penting mereka ada aktivitas atau tugas lain di sekolah selama 8 jam di sekolah.
Ketujuh, ini yang tak kalah pentingnya, dengan kebijakan lima hari sekolah, maka intensitas pertemuan anak dengan orang tua juga akan lebih banyak dan berkualitas. Jangan dipahami dalam pengertian “kota” saja yang orang tuanya lebih banyak bekerja kantoran atau pulang bekerja di sore atau malam hari, tapi pahami dalam pengertian “ndeso” yang orang tuanya banyak kerja di sawah atau perkebunan yang mungkin saja jam 13.00 sudah ada di rumah. Dalam pengertian “kota”, kebijakan lima hari sekolah memang akan menguntungkan dan menyenangkan “orang kota”, karena intensitas pertemuan anak dan orang tua akan semakin sering dan berkualitas. Anak menjadi lebih dekat dengan orang tuanya. Bukankah dalam agama diajarkan bahwa al-ummu madrasatul ula, ibu (orang tua, termasuk ayah) adalah sekolah yang utama. Orang tua yang juga bekerja lima hari dan anak yang sekolah lima hari tentu akan klop dan semakin menyeringkan anak dan orang tua bertemu. Bisa pertemuan itu berlangsung di rumah atau dalam bentuk yang rekreatif di luar rumah. Dalam pengertian “ndeso” yang terkadang “menuntut” anak untuk membantu orang tuanya di sawah atau kebun, dengan lima hari sekolah, anak dan orang tua juga bisa lebih sering bertemu dan untuk saling membantu bekerja di sawah atau kebun. Saya jadi membayangkan anak dan orang tua bersenda gurau dan bercanda ria di sawah atau kebun dengan penuh keakraban dan kasih sayang.
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menambah cara pandang terhadap kebijakan Mendikbud terkait dengan kebijakan lima hari sekolah (MMA, 8/07/2017).
Ketika sebatas mengkritisi atau bahkan menolak kebijakan, mungkin masih bisa dipahami, tapi ketika sudah diiringi oleh tuntutan yang meminta Mendikbud mundur, rasanya sudah terlalu jauh, berlebihan, dan menjadi sangat politis. Rasanya baru kali ini, PBNU di era kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bersikap tegas meminta seorang menteri mundur. Dan yang diminta mundur –kebetulan atau tidak– adalah menteri yang berlatar belakang dan menjadi anggota PP Muhammadiyah, sehingga wajar kalau ada yang berpandangan bahwa setelah 10 tahun terakhir Mendikbud dijabat “kader” NU, ada “ketakrelaan” ketika jabatan Mendikbud jatuh ke tangan kader Muhammadiyah. Jangankan terhadap menteri yang berasal dari dan berlatarbelakang NU, terhadap menteri lain pun yang tak ada hubungan emosional dengan NU yang tak becus bekerja, PBNU tak pernah memintanya untuk mengundurkan diri.
Posisi Mendikbud baru sebatas melontarkan tawaran kebijakan yang notabene juga adalah kebijakan Presiden dan tidak sedang dalam posisi sebagai tersangka atau diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi sebagaimana pernah dan tengah menimpa pejabat-pejabat negeri ini lainnya, termasuk pejabat-pejabat berlatar belakang NU.
Penolakan Maarif dan PBNU atas kebijakan lima hari sekolah atau sebelumnya santer disebut FDS, karena kebijakan ini dinilai akan mematikan Madrasah Diniyah (Madin). Alasan ini rasanya sangat berlebihan dan mengada-ada. Pertama, dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berkunjung ke PBNU yang juga diterima oleh jajaran pengurus PBNU dan juga saat menerima pengurus PP. Maarif serta saat berkunjung ke banyak pesantren yang kebanyakan tentu berafiliasi ke NU, seperti Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Pesantren Tebuireng, Pesantren Sidogiri, dan banyak lagi pesantren lainnya, Mendikbud sudah menjelaskan kebijakan lima hari sekolah atau FDS atau apapun namanya, termasuk menjelaskan bahwa kebijakan Mendikbud ini tak ada niatan secuil pun untuk mematikan Madin, yang ada justru sebaliknya akan memperkuat posisi Madin. Tak lupa Mendikbud juga menjelaskan bahwa kebijakannya tak lebih hanya action dari kebijakan atau visi dan misi Presiden dan sudah dibahas dalam Rapat Kabinet Terbatas.
Kedua, kebijakan-kebijakan yang awalnya diduga akan mematikan Madin bukan hanya kali ini saja, tapi sudah muncul beberapa kali dan terbukti tidak mematikan Madin. Masih ingat ketika Pemerintah Orde Baru melalui Departemen Agama membuat kebijakan berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah? Saat itu juga mendapat reaksi luar biasa karena diyakini akan mematikan Madin. Argumen yang saat itu mengemuka, dengan hadirnya MI dan MTs yang di dalamnya juga sarat dengan mata pelajaran agama yang juga diajarkan di Madin, maka akan menyebabkan siswa MI dan MTs tak mau bersekolah lagi di Madin pada sore harinya. Namun apakah dengan kebijakan MI dan MTs lalu Madin gulung tikar? Tidak juga bukan? Bahwa ada penurunan kuantitas iya, tapi penyebabkan bukan karena kebijakan Depdikbud, tapi karena kebijakan Depag.
Ketika tumbuh subur dan marak di mana-mana Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT, saya lebih suka menyebut sebagai bentuk metamorphosis dari MI dan plus penambahan jam belajar menjadi sampai jam 15.00), juga diributkan. Alasannya sama, karena diyakini akan mematikan Madin. Apakah setelah SDIT tumbuh menjamur, terutama di wilayah perkotaan, lalu Madin juga mati? Tidak juga bukan? Semua bergantung pada orang tua dan keinginan anak untuk bersekolah.
Ketiga, reaksi keras dan berlebihan Maarif dan PBNU juga terkesan kurang memahami realitas Madin dan cenderung generalisasi, terlebih terkait jam pembelajaran Madin. Reaksi Maarif dan PBNU kan seolah-olah jam pembelajaran Madin di manapun berlangsung sama antara pukul 14.00-17.00. Faktanya tidak demikian, sangat variatif. Ada yang jam pembelajarannya antara pukul 14.00-17.00 (seperti Madin di kampung yang saya pernah mengenyam tingkat Awwaliyah dan Wustho). Ada juga yang pukul 15.30-17.30 (seperti Madin yang hingga saat ini saya ikut terlibat menjadi Pengawas dan Pembina). Ada yang pukul 16.00-19.00. Ada yang pukul 18.30-21.00 (seperti Madin yang dikelola oleh sepupu saya di Brebes). Bahkan ada yang berlangsung pukul 08.00-10.00 (seperti Madin yang hingga saat ini saya ikut terlibat menjadi Pengawas dan Pembina) untuk menampung siswa-siswa SD yang sekolahnya berlangsung siang sampai sore hari antara pukul 12.30-17.30. Jadi sangat variatif waktu pembelajaran di Madin. Karena realitas ini, maka reaksi keras Maarif dan PBNU menjadi sangat berlebihan.
Keempat, menjadi berlebihan lagi dan bahkan terkesan paradox kalau reaksi berlebihan Maarif dan PBNU dikaitkan bahwa kebijakan lima hari sekolah akan menjauhkan anak didik dari pendidikan agama. Kalaulah benar bahwa kebijakan lima hari sekolah akan menjauhkan anak didik dari pendidikan agama, memangnya hanya kebijakan lima hari sekolah yang menjauhkan anak didik dari pendidikan agama? Cukup banyak kebijakan negara yang telah melemahkan sendi-sendi kehidupan keagamaan di lingkup anak didik. Coba tengok tayangan-tayangan “sampah” yang jorok dan menjijikan di televisi yang mengumbar pornografi dan tayang justru di saat jam-jam belajar siswa, termasuk juga tayangan-tayangan live televisi yang berlangsung ketika jam sekolah berlangsung, apakah selama ini Maarif dan PBNU, termasuk ormas-ormas Islam yang kemarin berkumpul di PBNU sudah pernah mereaksi secara keras, sekeras bagaimana Maarif dan PBNU menyikapi kebijakan lima hari sekolah?
Kelima, setahu penjelasan yang pernah saya dengar langsung dari Mendikbud, tak ada niat secuil pun dari kebijakan lima hari sekolah dengan sengaja untuk mematikan Madin. Saat kami bicara berdua dengan Mendikbud, pernah Mendikbud bicara yang menurut saya sangat keras dan kasar: “Sangat keji dan biadab mereka yang menuduh saya akan mematikan Madin. Lah wong saya ini produk Madin, kok mau mematikan Madin, aneh.” Mungkin andaikan saat itu videonya Kaesang sudah beredar, jangan-jangan Mendikbud akan bilang: “Ndeso, mereka yang menuduh saya akan mematikan Madin.” Justru sebaliknya, kebijakan lima hari sekolah akan memperkuat dan mensinergikan posisi Madin dengan SD/MI. Bila sebelum ada kebijakan lima hari sekolah, murid SD/MI tak ada keharusan untuk sekolah di Madin di sore harinya, suka-suka orang tua dan muridnya, ini realitas yang sesungguhnya di lapangan terkait dengan posisi dan kondisi Madin. Pengelolaannya pun terkadang asal dan acak-acakan. Namun dengan kebijakan 8 jam sekolah, maka –bisa saja– dengan kebijakan turunan di tingkat kabupaten disinerjikan antara SD/MI dengan Madin, di mana 5 jam sekolah berlangsung di SD/MI dan 3 jam sekolah berlangsung di Madin. Terkait fasilitas dan guru juga bisa disinergikan dengan baik.
Keenam, yang tidak banyak dipahami publik, bahwa terkait jam mengajar guru di SD/MI, termasuk SMP/MTs, prakteknya banyak manipulasi jam mengajar. Kebijakan delapan jam sekolah itu juga dimaksudkan untuk memutus manipulasi jam mengajar para guru. Para guru tidak harus dituntut untuk memenuhi jam mengajar, yang penting mereka ada aktivitas atau tugas lain di sekolah selama 8 jam di sekolah.
Ketujuh, ini yang tak kalah pentingnya, dengan kebijakan lima hari sekolah, maka intensitas pertemuan anak dengan orang tua juga akan lebih banyak dan berkualitas. Jangan dipahami dalam pengertian “kota” saja yang orang tuanya lebih banyak bekerja kantoran atau pulang bekerja di sore atau malam hari, tapi pahami dalam pengertian “ndeso” yang orang tuanya banyak kerja di sawah atau perkebunan yang mungkin saja jam 13.00 sudah ada di rumah. Dalam pengertian “kota”, kebijakan lima hari sekolah memang akan menguntungkan dan menyenangkan “orang kota”, karena intensitas pertemuan anak dan orang tua akan semakin sering dan berkualitas. Anak menjadi lebih dekat dengan orang tuanya. Bukankah dalam agama diajarkan bahwa al-ummu madrasatul ula, ibu (orang tua, termasuk ayah) adalah sekolah yang utama. Orang tua yang juga bekerja lima hari dan anak yang sekolah lima hari tentu akan klop dan semakin menyeringkan anak dan orang tua bertemu. Bisa pertemuan itu berlangsung di rumah atau dalam bentuk yang rekreatif di luar rumah. Dalam pengertian “ndeso” yang terkadang “menuntut” anak untuk membantu orang tuanya di sawah atau kebun, dengan lima hari sekolah, anak dan orang tua juga bisa lebih sering bertemu dan untuk saling membantu bekerja di sawah atau kebun. Saya jadi membayangkan anak dan orang tua bersenda gurau dan bercanda ria di sawah atau kebun dengan penuh keakraban dan kasih sayang.
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menambah cara pandang terhadap kebijakan Mendikbud terkait dengan kebijakan lima hari sekolah (MMA, 8/07/2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar