Jumat, 31 Maret 2017

KENANGAN BERSAMA ACHMAD MUNIF



IA pernah ingin bunuh diri. Sempat dicarinya cara bunuh  diri yang paling 'aman dan enak' dari berbagai referensi, termasuk cerpen dan novel.
Pengakuan Munif itu tidak hanya diceritakan kepada saya. Tetapi juga kepada teman-teman lain yang diakrabinya.
Gara-garanya, menurut sementara orang bisa jadi disnggap sederhana. Stres yang kian memberat karena merasa dirinya tidak lagi bisa nulis novel. Dua naskah novelnya sempat dikembalikan penerbit. Mungkin saja harga diri Munif menjadi terbanting. Aku wis gak bisa nulis novel pa ya, keluhnya kepada beberapa teman.
Konon, gara-gara stres itu Munif menarik diri dari pergaulan. Memenjarakan diri, menolak hadir bila diundang dalam berbagai kegiatan kesusastran. Termasuk ketika shooting napak tilas Persada Studi Klub (PSK) di kompleks TBY oleh JogjaTV.
*
ACHMAD MUNIF termasuk aktivis PSK di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi pada awal-awal berdiri komunitas diskusi para penulis muda itu di tahun 1969. Kalau mayoritas anggota PSK memilih jalur puisi, ia konsisten sebagai cerpenis, kemudian novelis.
Dalam menulis cerpen, Munif selalu melakukan riset pustaka maupun menghayatinya secara pribadi. Saat ingin menggambarkan betapa kedinginannya seorang tukang becak yang tidur di becaknya di alam terbuka, Munif sengaja tidur malam di emperan rumahnya. Istrinya sempat nengingatkan akan kesehatannya. Benar, ia sempat demam beberapa hari kemudian.
Dua puluhan novel ditulisnya dan tak terhitung lagi cerpennya sejak tahun 1970-an.
*
Dibanding teman-teman seangkatannya sebagai penulis, Achmad Munif termasuk yang 'kaya'. Ia memiliki sepeda dan mesin ketik warna hijau yang dibelinya setelah menabung beberapa lama sebagai korektor Skm Minggu Pagi.
Salah seorang yang paling diuntungkan dengan adanya mesin ketik itu adalah saya -- yang selama kurang lebih tiga tahun satu kos di rumah Bu Raden, Ngadiwinatan.
Munif memang tak bisa menolak ketika sejumlah temannya bertamu untuk 'nunut ngetik' entah puisi atau cerpen dan tulisan lainnya.
*
Teman-temannya, termasuk Mas Purwadmadi amat bahagia ketika kondisi psikis Munif pulih seperti sedia kala. Kembali produktif menulis cerpen dan novel. Ia pun kembali bersedia bergaul dengan para wartawan sepuh. Ia pun rajin menderas Alquran, yang setiap 6 hari dikhatamkannya. Munif juga aktif mengisi pengajian di sejumlah komunitas.
*
 Saat berlangsung pertemuan Paguyuban Wartawan Sepuh di Tembi Rumah Budaya dan di rumah Mas Kamal Firdaus, ia datang dengan pakaian necis dan rambut yang masih hitam tersisir rapi.
Pada pertemuan itulah saya dan Mas Purwadmadi ingin mengajaknya jajan sop snerek -- yang dipromosikan Mas Pur sangat enak di Magelang. Munif menyanggupinya setelah operasinya sembuh.
Sayang, kebersamaan itu tak pernah kesampaian... (Tulisan Soeparno S Adhy  Redaksi KR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar