Rabu, 22 Maret 2017

Memilih Pemimpin Muslim adalah Hak Konstitusional



Memilih pemimpin yang muslim tapi kurang syaratnya (secara fiqih), mulai Bung Karno sampai sekarang, Mbah Wahab (KH A. Wahab Chasbullah) menghukuminya dengan status Waliyyul Amri ad-Dloruri bi-s Syaukah. Jadi, statusnya sah, tapi darurat.
Kondisi darurat itu harus dihilangkan dengan usaha mengubah undang-undang (jika memungkinkan/mampu dilakukan). Pemimpin yang muslim saja seperti itu status hukumnya (dalam pandangan fiqih). Apalagi seperti Ahok. Selain non muslim, omongan & akhlaqnya juga jelek. Penista.
Masalah pilihan kepemimpinan di Indonesia, undang-undangnya sudah seperti yang ada itu. Dalam sudut pandang fiqih, umat Islam harus mengikuti hasil pemilihan (yang telah diatur undang-undang), demi menjaga NKRI dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Jadi, penerimaan itu dalam konteks penghormatan. Tapi kondisinya tidak normal.
Memilih pemimpin islam sebenarnya juga merupakan hak yang dijamin konstitusi. Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Lalu kenapa malah memilih pemimpin non muslim? Keblinger itu.
Ada yang bilang, konstitusi kita tidak mewajibkan seorang pemimpin harus beragama Islam. Lho?!
Dari sudut pandang konstitusi, memang seperti itu. Tapi (secara fiqih), kita mewajibkan umat Islam memilih pemimpin muslim. Ini juga hak yang dijamin konstitusi.
NKRI paling aman kalau dipegang NU. Kiai-kiai yang berpegangan pada haramnya hukum memilih pemimpin non muslim, dijamin pasti akan mengamankan NKRI.
Kekhawatiran anak-anak Ansor itu, termasuk ke dalam kaidah fiqhiyyah:
لدفع ضرر موهوم يجلب أضرارا محققة
Karena hendak menolak dloror-nya Anies (PKS), yang belum jelas dloror-nya (mauhum), akhirnya mereka justru menarik beberapa dloror yang nyata (yaitu Ahok dan orang-orang kafir).
Lha wong masih bisa memilih pemimpin muslim, kok malah menghalalkan memilih non muslim.
Kalau memilih pemimpin muslim, bobot dlorurot (baca: kedaruratan)-nya malah berkurang.
Tidak benar dalilnya anak-anak Ansor itu.
Mestinya kaidah للوسائل حكم المقاصد dipakai dalil sebaliknya: Memperbolehkan memilih Ahok akan dipakai wasilah nonmuslim lainnya merebut pimpinan negara, termasuk presiden.
Haram!
Ini modus.
Kelihatan sekali kalau ada kepentingan.
Masa, pemuda-pemuda NU cuma mengerjakan PR dari orang lain yang kepentingannya justru banyak merugikan.
Mestinya Ansor menyuruh Ahok/PDIP dan partai pendukungnya supaya mundur. Sebab, dia yang menjadi sebab. Kok malah dibela-bela.
Sekarang ini malah dibolak-balik. Yang mengharamkan, dianggap sebab. Padahal, itu hanya akibat. Ya akibat dari ulah Ahok sendiri.
Sudah ada keputusan Muktamar, kok masih neko-neko.
Soal hukum sahnya suatu perkara, tapi belum tentu halal. Banyak contoh, perkara yang dihukumi sah, tapi haram.
Seperti orang yang memakai baju suci dan menutup aurat, tapi hasil ghasab. Shalatnya? sah, tapi haram.
Contoh yang lain, masih banyak.
Salam ta'zhim,
Gus Zaki, putra sulung Kyai Miftahul Akhyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar