"Jadi Bapak mau ikut aksi lagi ini?" Tanyaku jumat lalu. "Iya bismillah. Jalan dr masjid ke MA usai Jumatan" "Sudalah Pak. Aku tidak tega Pak. Bapak memperjuangkan sesuatu yang aku sudah bisa memperkirakan apa hasilnya. Paling dia akan bebas atas nama hukum kita tdk bisa berbuat daya apapun" "Istighfar Hanum. Kamu itu jadi orang jgn pesimistis. Dulu semua orang juga meninggalkan Bapak ketika Bapak menghadapi Soeharto. Kezaliman. Bapak waktu itu juga berpikir yang akan Bapak lakukan sia sia tapi bismillah laa ilaahaillallah Bapak tdk peduli dgn hasilnya. Yg penting di hadapan Allah, bapak sudah melakukan yg terbaik"
Hatiku tetap berontak. Tapi Amien Rais adalah Amien Rais. Aku bicara dengan menyebut namanya bukan karna dia ayahku. Tapi karena dia one of a kind.
Amien Rais yg kukenal selama 36 tahun tak pernah berubah. Bangun dini hari, mengambil sahur sehari iya sehari tidak, bertadarus hingga jelang subuh, memimpin shalat kemudian membaca bukubuku yg setebal ibu jari.
Dia tdk pernah lelah dengan optimismenya sendiri. Tdk pernah berputus asa meski terkadang fakta tak sesuai harapannya.Sebagai anaknya terkadang sy berpikir apakah sy bisa menyamai keikhlasan dan keberaniannya yg selalu bertumpu kalimat Tauhid? "Yang namanya berjuang itu tdk ada kata akhir. Apalagi Bapak sudah semakin berusia Hanum. Bahkan sampai mgkn nanti Bapak tdk ada, hasil tak selalu mencerminkan harapan. Tapi ya bismillah itu saja modal Bapak"
Amien Rais yg kukenal selama 36 tahun tak pernah berubah. Bangun dini hari, mengambil sahur sehari iya sehari tidak, bertadarus hingga jelang subuh, memimpin shalat kemudian membaca bukubuku yg setebal ibu jari.
Dia tdk pernah lelah dengan optimismenya sendiri. Tdk pernah berputus asa meski terkadang fakta tak sesuai harapannya.Sebagai anaknya terkadang sy berpikir apakah sy bisa menyamai keikhlasan dan keberaniannya yg selalu bertumpu kalimat Tauhid? "Yang namanya berjuang itu tdk ada kata akhir. Apalagi Bapak sudah semakin berusia Hanum. Bahkan sampai mgkn nanti Bapak tdk ada, hasil tak selalu mencerminkan harapan. Tapi ya bismillah itu saja modal Bapak"
Bapak lalu menghampiri Sarahza dan berhadap hadapan spt di foto di atas. Dua generasi yg berbeda 73 tahun. Saling bertatapan seolah aku membayangkan mereka bs bertukar tempat. Tidak. Itu tidak mungkin. Bapak tdk mungkin kembali lagi spt Sarahza. Tapi Sarahza bisa mengukir keberanian dan optimisme berjuang spt kakeknya.
Aku jadi teringat bagaimana pesan mutakhir Bapak agar aku selalu optimis utk memiliki anak. Ketika untuk kesekian kalinya gagal, ia mengingatkanku "kalau nanti Bapak sudah tdk ada, dan kamu dan Rangga belum juga dikaruniai anak, inget kata Bapak Hanum, terus mencoba dan berusaha! Itu tandanya kamu orang beriman"
Aku jadi teringat bagaimana pesan mutakhir Bapak agar aku selalu optimis utk memiliki anak. Ketika untuk kesekian kalinya gagal, ia mengingatkanku "kalau nanti Bapak sudah tdk ada, dan kamu dan Rangga belum juga dikaruniai anak, inget kata Bapak Hanum, terus mencoba dan berusaha! Itu tandanya kamu orang beriman"
Iya Pak. Bismillah. Sy peluk bapak sblm ia melaju dgn mobilnya menuju Istiqlal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar