Oleh : Prof Dr Suteki MHum
PERSEKUSI menjadi perbincangan yg hangat beberapa hari ini. Lagi-lagi polisi yg menjadi "episentrum" viralnya istilah ini. Padahal sebelum munculnya konflik vertikal ulama dan umaro serta konflik horizontal antara sesama anggota masyarakat pelaku hate speech..istilah persekusi tidaklah populer dlm criminal justice system kita maupun dlm perbincangan warga masyarakat. Mereka mengenal istilah yg lebih populer yakni PERKUSI musik yg melenakan.
PERSEKUSI dlm bahasa yg lebih gampang dipahami sbg perbuatan (lisan, tulisan, tindakan) seseorang atau kelompok orang (misal A) menghakimi seseorang (misal si B) yg diduga melakukan perbuatan (lisan, tulisan, tindakan) yg dinilai telah merendahkan, merugikan pihak A (perbuatan X) dengan cara melakukan kekerasan, ancaman kekerasan dgn tujuan supaya pihak tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu (misal Y). Mungkin klo boleh saya berikan bahasa yg sederhana dgn istilah: SOFT LYNCH bukan SOFT DRINK. Sementara kita tahu ada pihak yg seharusnya berwenang menangani yaitu aparat kepolisian (misal C).
Kita pakai peribahasa: TIDAK AKAN ADA ASAP KALAU TIDAK ADA API.
Memang benar lynch adalah perbuatan yg tidak boleh dilakukan krn dpt melanggar HAM seseorang krn menghakimi seseorang tanpa proses peradilan yg fair. Namun yg hrs kita perhatikan adalah hate speech, atau hate action dari korban persekusi ini. Adalah tidak fair apabila polisi hanya menindak pelaku persekusi sementara korban yg nota bene nya menjadi trigger persekusi tidak diproses secara hukum. Bahkan seolah dibiarkan dan dilindungi sbg KORBAN PERSEKUSI. Bila mau fair, semua harus ditindak toh polisi bisa gunakan UU ITE atau bisa menggunakan KUHP. Polisi juga harus memahami bahwa tidak semua perbuatan klarifikasi oleh suatu kelompok kepada orang atau kelompok lain sebagai perbuatan persekusi yg hrs dipidanakan. Not all activities as legal cases. And not all of legal cases have to be solved through legal positivism.
Sebaiknya tidak tambah masalah di Indonesia ini dengan perkara kecil yang sebenarnya memang bisa diselesaikan dgn diskusi kecil. Tidak harus menggerakkan MESIN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM. Konsep pemberdayaan masyarakat utk menangani sendiri permasalahan hukumnya sebenarnya dpt diberikan toleransi sepanjang tidak dilakukan secara berlebihan dan tetap dlm pengawasan pihak aparatur pemerintahan. Kalau semua tindakan pengamanan sendiri yg diinisiasi oleh rakyat selalu dianggap sebagai persekusi, maka jangan heran bila tiba masanya semua orang CUEK terhadap semua perkara di sekelilingnya krn takut dituduh persekusi. Meme berikut ini sbg gambaran bahwa rakyat telah menyerahkan all legal cases kpd kepolisian dgn mengabaikan semua kejahatan di sekelilingnya.
Will you? Shall we? Or we shall ignore to this phenomena?
Will you? Shall we? Or we shall ignore to this phenomena?
Bisakah kita mengandalkan polisi untuk menyelesaikan semua perkara hukum di lingkungan kita? I am not sure
Tidak ada komentar:
Posting Komentar