Oleh: M Husnaini
Sekonyong-konyong dia menuju masjid besar desa itu. Tepat jam sepuluh pagi, dia langsung mengumandangkan azan. Tentu saja suasana desa menjadi geger. Beberapa penduduk langsung mendatangi masjid dan menghardik pemuda kurang waras yang biasa dipanggil Ketuplin itu.
"Dasar wong gendeng, kenapa jam segini kamu azan?" bentak seorang pria tinggi besar.
"Kamu tahu tidak kalau ini belum waktunya zhuhur, hah!" susul pria bercambang lebat itu sambil mencengkeram kerah baju Ketuplin.
Ketuplin menghentikan azan, dan menoleh. "Hehe. Ada kalian rupanya," jawabnya sambil nyengir.
Sementara tatapan mata orang-orang itu tajam menyeruak, Ketuplin santai bilang, "Kalian ini aneh. Setiap ada azan tepat pada waktunya, kalian tidak datang. Giliran sekarang aku azan jam segini, kalian langsung berhamburan. Tahu juga ya kalian kalau ini belum waktunya zhuhur. Hehe."
Ketuplin kemudian ngeloyor pergi, meninggalkan pria-pria marah di masjid itu yang saling pandang, tanpa bicara.
Tidak penting cerita di atas kejadiannya kapan dan di mana. Benar atau tidak, juga tidak terlalu perlu diperdebatkan. Yang jelas, dari cerita itu, ada kritik tajam buat kita, utamanya umat Islam.
Pertama, tentu saja tentang kemalasan kita untuk datang ke masjid. Betapa banyak umat Islam yang jarang banget ke masjid. Boleh jadi, menginjak lantai masjid hanya seminggu sekali saat shalat Jumat atau setahun dua kali saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Eh, jangan-jangan yang begitu itu termasuk kita sendiri, keluarga kita, famili kita, atau orang-orang terdekat kita. Cobalah periksa. Di mana sih hebatnya orang yang emoh dengan masjid, kendati memiliki segala?
Kemudian, kritik lainnya adalah soal betapa senangnya kita ini merespons orang hanya ketika dia bersalah. Kalau ada orang yang benar, atau baik, kita biasa abai.
Soal azan tadi, misalnya, ketika dikumandangkan tepat pada waktunya, kita diam saja. Datang ke masjid juga tidak. Tetapi begitu ada orang azan tidak pada waktunya, kita langsung sigap bertindak. Muazin itu, kata kita, telah bersalah, dan harus ditegur. Kadang pakai cara yang kasar pula.
Eh, bukankah dalam kehidupan sehari-sehari kita juga begitu? Kita lebih teliti kepada kesalahan orang daripada kebenarannya. Kita lebih tertarik membincangkan keburukan orang ketimbang kebaikannya. Kita lebih lihai mengekspos kekurangan orang dibanding kelebihannya.
Ketuplin benar-benar menjotos kesadaran kita. Dan, semoga Ramadhan tahun ini berhasil mengikis perilaku-perilaku buruk siapa saja yang mau menata dan melatih diri dengan puasa dan aneka ibadah lain secara istikamah sebulan penuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar