Sabtu, 15 April 2017

PRIBUMI, NON-PRIBUMI DAN AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945


By.Ma'mun Murod Al Barbasy
Terlalu sering ujaran kebencian dialamatkan kepada pribumi dan pelakunya selalu mereka yang tidak mau disebut sebagai pribumi. Mereka lebih bangga memposisikan diri sebagai non-pribumi. 
Kasus terakhir menimpa Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi. Seorang gubernur yang alim dan hafidz Qur'an dipanggil "Dasar pribumi, tiko". Ini ujaran kebencian yang sangat biadab dan tak bisa ditolerir lagi.
Atas kasus yang menimpa Gubernur NTB, saya kira semakin mendesak untuk dilakukannya kembali amandemen, terutama terkait pasal 6. Pada Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal ini mendesak diganti menjadi Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia pribumi dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Penggunaan kata "pribumi" dan bukan "asli" sebagaimana tertera pada UUD 1945 pra amandemen rasanya lebih moderat. Penggunaan nama "pribumi" juga untuk menegaskan keinginan mereka yang selama ini tidak mau disebut pribumi dan kerap membuat dikotomi pribumi dan non-pribumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar