Sabtu, 10 Juni 2017

Melihat Pesantren Gus Mus di Rembang




Dari banyak pondok pesantren yang ada di Jateng, salah satu yang tertua adalah Ponpes Roudlatut Tholibin, Leteh Kabupaten Rembang. Pesantren yang didirikan oleh Kyai Bisri pada tahun 1942 itu saat ini masih konsisten menjadi salah satu tonggak penyebaran ilmu agama di Jateng, bahkan Indonesia.
Ratusan santri keluar-masuk belajar di pesantren yang kini diasuh oleh ulama kharismatik, KH Mustofa Bisri alias Gus Mus itu. Jika dihitung dari awal berdiri sampai sekarang, tentu sudah ratusan ribu atau bahkan lebih, para alumni yang kini tersebar ke belahan Nusantara. Saat ini total, sedikitnya ada 500 santri yang belajar di sana dan sebagian juga berlajar di pendidikan formal.
Sampai sekarang, Roudlatut Tholibin yang lebih akrab dikenal sebagai Pondok Leteh masih identik dengan pesantren salaf. Dari pesantren-pensatren salaf yang ada, Pondok Leteh dikenal sebagai spesialis ilmu alat, yang di dalamnya termasuk nahwu, shorof maupun balagoh.
Tidak heran, para alumni Leteh sudah pasti sangat menguasai gramatikal Bahasa Arab, yang menjadi pondasi dasar untuk membaca berbagai kitab kuning, tanpa syakal. Kitab nahwu selalu menjadi menu wajib santri mengaji setiap hari. Selain nahwu, santri Leteh juga digenjot dengan pengajian kitab-kitab Fiqh.
Menurut salah seorang keluarga pengasuh Pondok Leteh, KH Bisri Adib alias Gus Adib, ada beberapa kitab kuning yang dipelajari oleh santri sesuai tingkatan. Yang paling wajib adalah ngaji selepas magrib sampai sekitar pukul 20.00.
“Setelah magrib, kitab nahwu untuk tingkatan paling rendah adalah Kitab Jurumiyyah dan yang paling tinggi adalah Kitab Alfiah. Sedangkah Fiqhnya, paling kecil adalah Kitab Taqrib dan paling tinggi Kitab Fatkhul Mu’in,” papar Gus Adib.
Tafsir Jalalain
Menurut Gus Adib, dari pertama kali berdiri tahun 1942 sampai 2017, yang paling khas dari Pondok Leteh adalah istiqomah jadwal kegiatan. Dari dulu, setiap habis shubuh, santri Leteh selalu ngaji Kitab Tafsir Jalalain yang biasanya dibaca oleh pengasuh utama.
“Dari dulu yang tak pernah luntur adalah jadwal ngaji di Leteh selalu istiqomah. Habis shubuh Tafsir Jalalain, waktu dhuha ada beberapa kitab Tauhid, habis ashar sorogan kitab di masing-masing guru yang ditentukan. Setelah ngaji magrib, ada jadwal belajar bersama pukul 21.00-23.00. Kegiatan-kegiatan itu istiqomah sejak pertama pesantren lahir,” ujarnya.

Adib menyebut, selain ilmu alat, kharakter pembelajaran lain dari Pondok Leteh adalah a’lim dan a’qil. Artinya, santri Leteh harus benar-benar membuka diri terhadap semua ilmu selama nyantri. Sedangkan a’qil, setiap santri harus bisa memiliki pertimbangan rasional dalam menggunakan ilmunya.
Selain digembleng keras ilmu-ilmu dalam pembelajaran semiformal, santri juga ditekankan mengamalkan sikap tawadhu’ kepada ahli ilmu. Tidak heran, santri Leteh juga paling dikenal sikap tawadhu’nya terhadap ahli ilmu.
“Sangking tawadhu’nya santri, gaya dehem atau mengajar kyai atau guru dihafal dan ditiru hingga bisa benar-benar sangat menyerupai. Dehemnya guru ketika mengajar, ditiru oleh santri ketika ia memasuki masa mengajar, baik di pesantren atau rumah,” ujarnya.
Meskipun pesantren salaf, namun beberapa produk modern juga diajarkan kepada santri. Semisal, santri secara berkala diajarkan bagaimana mengelola webset dan mempraktikannya. Santri juga difasilitasi dengan jaringan wifi untuk kepentingan pembelajaran.
Tidak Usang
“Salaf itu tidak akan usang. Yang terpenting adalah bagaimana cara mengemasnya bisa menyesuaikan waktu zaman. Nyatanya, santri Leteh meskipun digembleng di lingkungan salaf tetap bisa berbicara tentang kekinian,” imbuhnya.
Di masa Ramadan seperti ini, kepadatan mengaji di Leteh bertambah hingga dua tiga kali lipat. Jumlah santri pun juga semakin banyak, seiring datangnya santri pasan dan alumni yang sengaja kembali mengaji di sana. Kitab utama yang dibaca Gus Mus adalah Bidayatul Hidayah.
Seorang alumni asal Bekasi, Ismail, Ramadan tahun ini kembali ngalap berkah mengaji di Leteh. Ia mengaku datang pertama di Leteh tahun 1990 dan boyong tahun 1998. Kini dua anaknya juga mengikuti jejaknya ditempa ilmu agama di Leteh.
“Kalau Ramadan, pengajian di sini semakin ramai. Dulu pada zaman Kyai Bisri, saya ikut ngaji sampai Syawal. Beliau sayang sekali sama santri. Sampai-sampai ketika ngaji tentang hadist pada masa Syawal, beliau menyuapi sendiri dengan tangannya sebuah kurma ke santri yang mengaji, termasuk saya. Itu bagian dari praktik kitab yang dibaca,” kata Ismail. (sumber: suaramerdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar