Selasa, 23 Mei 2017

SALAHKAH MENUDUH KAFIR DAN MUNAFIK?




Oleh Ma'mun Murod Al-Barbasy.
Sudah cukup lama saya berkeinginan menulis secara sederhana tentang hal ini. Namun maju mundur terus. Penyebabnya, pertama, pasti akan dituduh sebagai sok suci, sok alim, dan tuduhan minor lainnya, padahal saya sendiri merasa penuh lumpur dosa. Kedua, pasti juga akan dicap sebagai bagian dari kelompok yang kerap disebutnya sebagai radikal dan intoleran.
Namun setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk soal kemungkinan mendapat umpatan atau tudingan negatif yang bakal dialamatkan kepada saya, saya memutuskan untuk menulis dengan judul di atas. Toh dengan tidak menulis hal ini pun, kalau membaca tulisan-tulisan singkat saya, sebagian pasti akan menyimpulkan saya sebagai bagian dari kelompok radikal dan intoleran, kesimpulan yang pasti salah. Jadi lebih baik menulisnya.
Melalui tulisan singkat ini, serius saya ingin bertanya. Kan akhir-akhir ini tidak sedikit orang yang "menggugat" kepada mereka yang suka menuduh orang lain sebagai kafir, munafik, musyrik, dzalim, dsb.
Mereka menggugat bahwa tak sepatutnya orang menuduh orang lain sebagai kafir, munafik, musyrik atau dzalim. Katanya mereka yang suka melakukannya misalnya menuduh orang lain sebagai kafir, diumpamakan sebagai orang yang mau mengambil atau setidaknya menyamai "kuasa" Tuhan.
Pertanyaan saya sederhana banget: kalau tidak boleh "menuduh" kafir, munafik, musyrik, dzalim, dsb., lalu bagaimana menjelaskan dan mencontohkan ratusan ayat dalam al-Qur'an yang berbicara tentang kafir, munafik, musyrik, dzalim, dsb? Bahkan Allah sampai mengabadikan sebagai nama-nama surat dalam al-Qur'an, seperti al-Munafiqun dan al-Kafirun.
Sekadar mengutif dua ayat pada surat lainnya:
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ ۚ وَاِذَا قَامُوْۤا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰى ۙ يُرَآءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًا
 "Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 142)
Saya kutif satu ayat lagi:
اِسْتَغْفِرْ لَهُمْ اَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ ۗ اِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَهُمْ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ
"(Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu karena mereka ingkar (kafir) kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah 9: Ayat 80).
Ayat ini menjelaskan karakter orang-orang munafik (baca ayat-ayat sebelumnya). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pada diri orang munafik itu juga melekat dua sifat buruk lainnya, yaitu kafir dan fasik.
Kemudian, kalau tidak boleh menuduh kafir, munafik, musyrik, dzalim, fasik, dsb, lalu kenapa juga dalam al-Qur'an banyak bercerita soal Fir'aun, Qarun, kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Luth, bangsa Tsamud, cerita soal Bani Israil, Namruj, Abu Lahab (bahkan diabadikan menjadi nama surat dalam al-Qur'an) yang disebutnya sebagai penggambaran nyata dari karakter-karakter kafir, munafik, musyrik, dzalim, dsb.
Saya melihat bahwa "kampanye" yang dilakukan oleh mereka tentang tidak bolehnya menuduh kafir, munafik, musyrik, fasik, dsb dilakukan semata untuk berlindung dan menutup-nutupi kekafiran, kemunafikan, dan kemusyrikan yang boleh jadi "lebih banyak" diperbuat oleh mereka. Saya gunakan kata "lebih banyak", karena bisa jadi memang ada yang mengkampanyekan tidak bolehnya menuduh kafir, munafik, musyrik, dsb dengan tujuan baik dan maslahat, bukan dimaksudkan untuk mengkotak-kotak masyarakat.
Bagi saya tidak ada masalah tuduhan kafir, munafik, musyrik, dsb selagi tuduhan tersebut didasarkan pada parameter yang jelas dan tegas serta tentunya mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an, terutama ayat-ayat yang muhkamat.
Dengan parameter yang jelas. Maka tak akan mungkin orang begitu mudah misalnya menuduh kafir pada orang lain hanya karena beda perspektif pemikiran keagamaan. Apalagi kalau perbedaan tersebut sebatas pada masalah-masalah khilafiyah dan furuiyah, bukan perbedaan dalam hal pokok atau aqidah.
Dengan kriteria ini, maka pengkafiran yang dilakukan oleh Khawarij terhadap mereka yang terlibat dalam Perang Shiffin dan Peristiwa Tahkim menjadi tidak bisa dibenarkan dan sulit dipahami. Secara aqidah (kalau dipahami secara lafdziyah), mereka yang terlibat dalam Perang Shiffin dan Tahkim masih seaqidah. Tapi sikap takfiri terhadap Muslim yang mendukung tidak saja pemimpin non-Muslim, tapi juga yang sering menista Islam, pada batas tertentu bisa dipahami. Selain ayat-ayat muhkamat terkait masalah kepemimpinan non-Islam sudah cukup jelas, juga karena penistaan yang dilakukannya terhadap Islam. Dalam terminologi fiqh kepemimpinan politik Islam, pemimpin model ini bisa disebutnya sebagai kafir harb.
Untuk memberikan pembenaran atas tuduhan kafir, munafik, dan musyrik misalnya, perlu dan bahkan mendesak juga adanya reinterpretasi atas istilah-istilah tersebut. Kafir, munafik, dan musyrik misalnya jangan hanya selalu diinterpretasi dalam pengertian sempit, yang lebih berwajah relasi vertikal (hablun mina-Allah). Kafir misalnya hanya dan bahkan selalu dimaknai sebatas non-Islam. Munafik juga dimaknai sebatas "orang yang mendua" dalam pengertian relasi vertikal, muslim tapi tidak salat, muslim tapi tidak puasa. Begitu juga musyrik hampir selalu dimaknai sebagai "menyekutukan" Tuhan dalam pengertian relasi vertikal. Tuhan dimaknai berbilang dalam pengertian wujud.
Mendesak reinterpretasi terhadap kafir, munafik, dan musyrik dalam pengertian relasi horisontal (hablun minannas). Kafir secara sederhana sering dimaknai sebagai ingkar, menolak atau tidak percaya dengan ajaran Allah. Sementara munafik dalam pengertian syara adalah orang yang lahirnya beriman tapi batinnya kufur. Sedangkan musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu (tuhan) lainnya.
Definisi ini yang semestinya direinterpretasi. Reinterpretasinya harus lebih bersifat progresif dan semangat membebaskan. Dengan semangat ini, maka kafir tidak hanya dimaknai sebagai non-Islam, tapi semua orang yang mengingkari perintah dan larangan Allah, maka sejatinya adalah kafir. Ketika Allah sudah menegaskan dalam al-Qur'an terkait larangan memilih pemimpin non-lslam lalu ada yang mengingkarinya (harus dilihat konteksnya),maka masuk dalam kategori kafir. Ketika Allah melarang korupsi, melakukan illegal logging, merampok uang negara, melakukan pembiaran atas kebijakan negara yang memustadz'afinkan masyarakat, lalu ada anak bangsa yang mengingkarinya, maka layak dicap kafir.
Ketika ada anak bangsa yang hendak menggapai kekuasaan politik dengan cara-cara kotor, culas, menghalalkan segara cara, yang kesemuanya tentu Allah melarangnya, maka pantas dicap sebagai kafir. Cap munafik dan musyrik juga bisa disematkan pada siapa saja yang melakukan tindakan seperti disebutkan di atas.
Dengan kata lain, siapa saja yang mengingkari Allah, yang mendua sikapnya, di mana jasadnya muslim, tapi ruhnya kufur, tindakan dan sikapnya selalu "menduakan" Allah, maka layak dicap sebagai kafir, munafik dan musyrik. Sekian. (Cirendeu, 23/5/2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar