Kamis, 18 Mei 2017

SISI LAIN IMAM SUPRAYOGO



Oleh: M Husnaini
Alhamdulillah. Tiada ungkapan yang pantas seiring tuntasnya penyuntingan buku ini selain ungkapan syukur kepada Allah. Inilah buku keempat karya Prof Dr Imam Suprayogo yang berhasil saya sunting. Tiga buku sebelumnya adalah “Masyarakat Tanpa Ranking”, “Menghidupkan Jiwa Ilmu”, dan "Membangun Mental Pejuang".
Saya tertarik dengan tulisan-tulisan Prof Imam, karena sederhana tetapi mengena. Setiap hari saya mengikuti tulisan-tulisan beliau lewat internet. Tidak sulit. Karena, Prof Imam memang istikamah mengunggah pemikiran-pemikiran brilian itu di Facebook maupun blog pribadi setiap pagi. Tidak heran, beliau dua kali menerima Rekor Muri, pada 2009 dan 2011, untuk konsistensi menulis setiap hari tanpa jeda.
Beliau biasa menulis setiap habis jamaah Shubuh di masjid dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Setiap tulisan rata-rata beliau selesaikan sekitar seperempat sampai setengah jam. Apa yang beliau tulis adalah ide yang muncul pagi itu. Sederhana. Terkadang malah bercerita pengalaman keseharian saja, tetapi penuh hikmah. Kalau mengupas sebuah persoalan, Prof Imam kerapkali merujuk dalil-dalil Al-Qur’an atau hadis. Bukan tidak pernah, namun jarang saya jumpai beliau mengutip dalil atau pendapat dari selain dua sumber utama ajaran Islam itu.
Saya harus bersyukur telah mendapat kepercayaan menyunting tulisan-tulisan beliau. Tentu saja banyak ilmu dan pengalaman yang saya petik. Karena, sejauh pembacaan saya, Prof Imam termasuk manusia langka di bumi Indonesia ini. Jasa beliau di dunia pendidikan dan pemikiran Islam tidak boleh dipandang sebelah mata. Beliau adalah sosok pemimpin yang ikhlas dan berintegritas. Selama 16 tahun menjabat rektor UIN Maliki Malang (1997-2013), beliau tidak pernah mengambil tunjangan sebagai rektor. Seluruhnya. Sungguh sesuatu yang tidak lazim di zaman sekarang.
Prof Imam juga sosok yang bersahaja. Tutur kata beliau santun, sederhana, namun berwibawa. Bagi saya, beliau memang orang yang menarik dalam tulisan dan ucapan. Artinya, kalau menulis gampang dicerna, kalau berbicara juga sederhana. Pandangan dan pemikiran beliau moderat, sehingga mudah diterima semua golongan, bahkan non-Muslim. Banyak sudah buku atau artikel tokoh yang mengapresiasi sosok dan perjuangan beliau. Buku ini gamblang membeberkan upaya Prof Imam dalam ikut urun rembuk mengatasi berbagai persoalan keumatan.
Sebagai tokoh dan cendekiawan Muslim, beliau pribadi yang sangat mencintai pendidikan. Hati beliau ngilu melihat kondisi pendidikan Islam yang terpuruk. Sebab itu, beliau membanting tulang untuk memajukan dunia pendidikan Islam. Sebelum terjun di UIN Maliki Malang, Prof Imam adalah salah satu tokoh pendiri dan perintis Universitas Muhammadiyah Malang. Karier beliau bermula dari menjadi kepala perpustakaan hingga Pembantu Rektor I. Ketika Prof Imam Suprayogo menjabat PR I mendampingi Prof Dr A Malik Fadjar (1983-1996), jumlah mahasiswa UMM baru 500-an. Namun, di akhir masa jabatan beliau, jumlah mahasiswa meningkat menjadi 23.000 orang.
Prof Dr A Syafii Maarif memuji beliau sebagai seorang pemimpin yang memiliki daya imajinasi kuat dan mimpi besar. “Lewat sentuhan tangan dingin dan kerja keras Imam Suprayogo dan unsur pimpinan UMM, kampus yang dulu kecil menjadi maju dan berkelas,” tutur Buya Syafii Maarif. Sementara itu, Prof Dr Thohir Luth pernah mengatakan bahwa Prof Imam Suprayogo merupakan sosok istimewa yang dapat dijadikan teladan dari berbagai sisi. “Beliau itu figur pencipta, dan bukan pewaris,” ungkap ketua PWM Jawa Timur itu.
Dulu, kendati menjabat PR I dan berhasil mendongkrak UMM menjadi kampus papan atas, ternyata kondisi perekonomian Prof Imam tidak mengalami peningkatan. Beliau tetap sosok sederhana, gigih, santun, dan dermawan. Kepedulian terhadap sesama tampaknya masih terpatri dalam hati dan derap langkah kaki sehari-hari. Ada sebuah kisah. Setiap waktu sahur di bulan Ramadan, PR I kita ini biasa berkeliling kampus. Ada apa gerangan? Pemimpin kelahiran Trenggalek ini menengok pos satpam, para karyawan, termasuk petugas kebersihan. Kepada para bawahan itu, Prof Imam bertanya, “Adakah yang belum sahur?” Sembari demikian, beliau biasanya lalu menyodorkan nasi bungkus, sesekali uang saku untuk makan sahur mereka.
Yang lain, apabila Prof Imam pulang dari suatu acara, lalu mendapat makanan bungkus, beliau tidak langsung pulang dan memberikan makanan itu kepada istri dan anak-anak di rumah. Beliau lebih senang membawa makanan itu ke kampus UMM, dan memberikannya kepada para karyawan yang belum makan. Inilah potret intelektual membumi dalam makna sebenarnya. Ketika hendak berbuat welas, beliau tidak pernah memandang jabatan. Benar-benar sosok pemimpin yang berjiwa Rabbani.
Keluhuran budi Prof Imam ini tampaknya “warisan” dari ayah sekaligus guru beliau, Kiai Hasan Muchrodji. Kiai kampung yang tinggal di Gemaharjo, Watulimo, Trenggalek itu terkenal santun dan bijak. Kala itu, Kiai Hasan tinggal di rumah yang cukup besar untuk ukuran desa. Rumah Kiai Hasan dilengkapi dengan masjid dan madrasah. Selain Bu Nyai Mariyah dan 14 orang anak, rumah Kiai Hasan ternyata tidak hanya diramaikan oleh murid-murid yang belajar di situ sejak pagi hingga malam. Uniknya, rumah penuh berkah itu juga dihuni beberapa anak yatim dan orang gila. Tidak kurang tiga atau empat orang yang akalnya miring dititipkan keluarga mereka kepada Kiai Hasan untuk disembuhkan.
Apa yang dilakukan Kiai Hasan untuk menangani orang-orang sakit jiwa itu? Kiai Hasan memiliki cara unik. Setiap orang gila ditugasi membantu pekerjaan rumah tangga. Ada yang bertugas menjaga tanaman di sawah, ada yang mengangkut hasil panen, ada yang membersihkan rumah, masjid, madrasah, kandang. Kiai Hasan selalu memuji masing-masing mereka setiap selesai bekerja, bahkan memberi penghargaan. Uniknya, Kiai Hasan rajin membangunkan orang-orang tidak waras itu untuk diajak shalat malam dan berdoa bersama. Keuletan Kiai Hasan itu menampakkan hasil. Lambat laun, meskipun tidak selalu, Allah memberikan kesembuhan kepada orang-orang stres itu, atau minimal tingkat depresi mereka berkurang.
Metode penyembuhan sarat sentuhan spiritual itulah yang lalu ditiru Prof Imam. Ketika memimpin UIN Maliki Malang, Prof Imam pernah mengajak lelaki gila yang sering berkeliaran di sekitar kampus untuk bekerja membersihkan sungai di depan kampus. Untuk kerjanya, lelaki gila itu menerima gaji setiap hari kerja. Kalau lagi tidak bekerja, ya dia tidak digaji. Gajinya juga ditentukan besarnya. Sekitar tahun 1998, sehari adalah Rp 5.000. Menurut Prof Imam, orang gila itu ternyata juga amanah dan disiplin. Suatu ketika, bendahara kampus memberinya gaji lebih, yaitu Rp 6.000. Ternyata kelebihan gaji itu dikembalikan. Jadi, sekalipun menguntungkan, lelaki gila itu ternyata tidak mau menerima sesuatu yang bukan haknya.
Lainnya, yang juga patut diapresiasi ialah kelihaian Prof Imam dalam mengelola amarah. Ada mahasiswa yang memfitnah beliau melakukan korupsi atas pembangunan masjid kampus. Ketika mahasiswa itu sadar dan meminta maaf, apa jawaban Prof Imam? Beliau malah meminta mahasiswa tersebut untuk pulang dan mencium telapak kaki orang tuanya. Beliau tidak marah, apalagi menghukumnya.
Mahasiswa lain, karena tidak puas berdemo, bahkan membawa golok ke rumah, hendak menggorok beliau. Selepas mahasiswa tersebut ditangkap polisi, lalu meminta maaf kepada beliau, sekali lagi Prof Imam menunjukkan sikap luar biasa. Dengan mudahnya, beliau memaafkan mahasiswa itu. Lebih dari itu, beliau bahkan membiayai kuliah mahasiswa ngawur itu hingga lulus.
Simaklah komentar Prof Imam, “Sebagai guru, saya berusaha untuk tidak menghukum, apalagi mengeluarkan dari kampus. Saya selalu berkeyakinan bahwa kejelekan itu suatu saat akan berubah menjadi baik. Mereka melakukan kesalahan itu karena belum mengerti saja. Memang, ada kalanya orang cepat ngerti, cepat paham, dan cepat menyadari atas kesalahan. Namun juga sebaliknya. Penyadaran kadang memerlukan waktu lama. Nabi Muhammad saja menghadapi orang nakal, bahkan lebih parah dari mahasiswa sekarang. Kita bersabar saja, memohon kepada Allah agar mereka segera diberi petunjuk.”
Subhanallah. Di zaman sekarang, masih adakah rektor, bahkan sekadar pejabat elite kampus, yang mampu bersikap arif seperti itu? Lebih lanjut, silakan ikuti pemikiran-pemikiran beliau di buku ini. Kesan selanjutnya tentu berpulang kepada pembaca sekalian. Harapan saya, semoga tinta sejarah mencatat segala kenangan tentang Prof Imam yang hangat, menenteramkan, dan mencerdaskan. Selamat membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar